Sudah sekian bulan, transaksi menggunakan kartu ATM atau debit terus menurun. Berbanding terbalik dengan transaksi digital banking dan QRIS yang semakin tumbuh. Trend tersebut dapat dibaca dari data Bank Indonesia (BI).
Sementara bisa disimpulkan terjadinya pergeseran preferensi transaksi masyarakat. Mereka cenderung memilih transaksi memanfaatkan gawai ketimbang kartu. Mereka tidak hanya semakin akrab dengan pembayaran digital, tetapi juga pembayaran menggunakan perangkat yang digenggam.
Transisi ke Virtual
Aktivitas ekonomi virtual memang kian melekat dalam keseharian kita. Semakin terbiasa dan mudah pula kita beradaptasi dengan inovasi.Â
Momentum pandemi yang semula dianggap bakal menghentikan roda perekonomian, ternyata justru memicu percepatan transisi dari konvensional ke digital.Â
Sejak itu, para pengambil kebijakan semakin serius mengakselerasi digitalisasi ekonomi. Keharusan memperkuat ekosistem ekonomi digital semakin nyata. Kebijakan yang dikeluarkan diarahkan guna memperkuat itu.
Kita bisa melihat contohnya bagaimana mata uang kripto yang semula dianggap "musuh" pada akhirnya kudu "dirangkul". Regulasi terbit bukan lagi untuk melarangnya, namun memastikan keberadaannya tidak disalahgunakan.Â
Bank sentral pun telah mengambil sikap menerbitkan uang digital. BI melalui proyek Garuda-nya sedang menggarap penerbitan Rupiah digital. Negara memang telah mengamanatkan penerbitan Rupiah digital, mendampingi Rupiah kertas dan logam, seperti tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK)
Dalam transaksi ritel pun, yang nominalnya receh, penggunaan instrumen non-tunai semakin populer. Sebut saja pilihan pembayaran QRIS yang disediakan para pedagang mikro atau kaki lima.Â
Beberapa tahun silam, kita melihat fasilitas pembayaran non-tunai hanya disediakan toko-toko besar yang mapan. Pembelinya pun sebatas orang-orang tertentu yang melek teknologi pembayaran, atau mereka yang bersaldo lumayan karena bisa memegang kartu kredit atau ATM. Ada unsur eksklusivitas pada pembayaran nir-fisik.Â
Sekarang, sudah terjadi perubahan besar. Instrumen pembayaran digital sudah merakyat. Dari pegawai mapan hingga sekedar pelajar dan penjual kaki lima sudah lazim bertransaksi non-tunai. Transisi pembayaran dari konvensional ke digital, perlahan tapi pasti sudah terjadi.
Satu hal penting, mulai muncul kecenderungan daya tarik penjualan  yang tidak hanya karena barangnya, tetapi juga kemudahan pembayaran yang ditawarkan.
Keamanan Siber
Transisi pembayaran semakin menghidupkan ekosistem ekonomi digital. Optimisme pergerakan ekonomi akan semakin cepat pun tidak lah berlebihan. Hanya saja, muncul konsekuensi yang mesti jadi perhatian yakni kejahatan siber. Sulit sekali melepaskan risiko siber ketika telah memasuki ranah digital.Â
Berbeda dengan kejahatan konvensional yang relatif lebih mudah dideteksi, karena metode maupun variasinya yang sudah dikenal, kejahatan siber terus berkembang baik modus maupun caranya.Â
Kejahatan siber itu juga senyap dan sulit dideteksi, silent but deadly. Ada kejahatan yang lansung membobol dana masyarakat, atau yang tidak langsung, seperti pencurian dan jual beli data, ransomware, dll.Â
Pengungkapannya pun tidak mudah, dikarenankan dilakukan melalui dunia maya. Perpindahan dana bisa dilakukan secara instan, bahkan bisa lintas teritorial negara. Sebut saja, tebusan menggunakan uang kripto.
Kondisi itu bagaimanapun bukan menjadi alasan terhentinya transisi transaksi digital. Nyaris mustahil kita kembali ke konvensional sepenuhnya. Oleh karenanya, yang perlu dilakukan adalah penguatan pengamanan siber.Â
Penyedia jasa pembayaran, baik bank maupun non bank perlu lebih antisipatif menyikapi perkembangan kejahatan siber. Investasi besar untuk pengamanan siber harus menjadi prioritas. Ditambahkan lagi, edukasi kepada konsumen perlu lebih masif dan intensif.
Pelindungan Konsumen
Risiko siber mengiringi laju cepat transisi transaksi dari konvensional ke digital. Atas dasar itu, kebutuhan pelindungan konsumen yang telah masuk dalam ekosistem ekonomi digital pun memiliki urgensi tinggi.
UU P2SK secara tegas memerintahkan otoritas keuangan untuk serius memperhatikan aspek pelindungan konsumen sistem keuangan. Boleh dikatakan, baru kali ini Indonesia memiliki UU yang mengatur secara khusus pelindungan di sektor keuangan. Hal itu menandakan bahwa aspek pelindungan merupakan sesuatu yang krusial dan menjadi perhatian negara.Â
Pelindungan ini merupakan pilar penegak kepercayaan konsumen pada sistem keuangan. Terutama, ketika sistem itu mulai beralih ke dunia baru, dunia digital. Kerentanan menjadi korban kejahatan yang merugikan kian meningkat, sehingga pelindungannya pun kudu diperketat.
Otoritas perlu memastikan industri keuangan tidak sekedar fokus pada inovasi, pengembangan produk, dan pencapaian keuntungan, tetapi juga pelindungan kepada konsumennya.Â
Bagaimanapun, konsumen merupakan jiwa-raga yang menghidupkan industri keuangan. Sudah sepatutnya industri yang hidup karena mereka, membalas budi dengan melindungi hak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H