Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Turbulensi Ekonomi Melahirkan Inovasi

4 Februari 2024   17:59 Diperbarui: 5 Februari 2024   07:41 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turbulensi menghasilkan inovasi (Sumber Ilustrasi: KOMPAS/HERYUNANTO)

Sebuah perusahaan teknologi keuangan berbasis pinjaman online baru-baru ini sedang menghadapi tuntutan investornya. 

Musababnya adalah tingginya tingkat wanprestasi atau semacam kredit macet yang berimbas pada tersendatnya pengembalian dana kepada investor. 

Alasan yang disampaikan perusahaan yaitu banyaknya debitur yang sulit membayar pinjamannya akibat terdampak Covid-19.

Memang benar, Covid-19 memporakporandakan perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia. Alasan semacam itu memang sudah jamak terdengar pasca terjadinya suatu peristiwa besar yang menggoncang stabilitas perekonomian. 

Jika kita ingat, sebenarnya jarang kondisi perekonomian mencapai periode kestabilan dalam jangka sangat panjang. Selalu ada setidaknya riak-riak hingga gelombang persoalan yang mengganggunya. Sumbernya dapat berasal dari domestik atau faktor eksternal.

Apalagi dengan semakin terintegrasinya perekonomian dunia dan kuatnya pengaruh negara-negara tertentu terhadap percaturan ekonomi global, sensitivitas dampak rambatan pun kian tinggi. 

Peristiwa dalam suatu negara yang semula tidak ada kaitannya, dapat mempengaruhi negara-negara lainnya atau disebut spillover impact.

Tidak Ada Kestabilan Abadi      

Coba kita tarik beberapa rangkaian kejadian yang mengguncang perekonomian seabad terakhir, baik di luar maupun dalam negeri.

Pasca perang I, terjadi great depression yang dimulai di Amerika Serikat (AS) lalu merembet ke Eropa, Amerika Latin, hingga Jepang. 

Adapula peristiwa great recession yang dipicu meledaknya angka gagal bayar debitur kredit rumah di AS atau dikenal subprime mortgage pada 2008. 

Kondisi itu juga menciptakan keguncangan yang merembet ke negara-negara lain, bahkan sempat menyentuh Indonesia. Pada peristiwa tersebut, muncullah permasalahan penyelamatan Bank Century.

Sepuluh tahun kemudian, terjadi perang dagang antara Tiongkok dengan AS. Karena kedua negara tersebut merupakan mitra dagang utama dunia, maka konflik keduanya berdampak pada terhambatnya perdagangan dunia.

Belum lagi tuntas, dunia digoncang dengan bencana terbesar abad ini yaitu pandemi Covid-19 pada awal 2020. 

Tidak hanya jutaan nyawa melayang, pandemi nyaris menghentikan aktivitas perekonomian dunia. 

Hampir semua negara mengalami lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan, anjloknya Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dan akhirnya menurunnya pertumbuhan ekonomi secara drastis.

Masih dalam masa pemulihan pasca pandemi, terjadi peningkatan tensi geopolitik karena konflik Rusia dengan Ukraina dan Israel dengan Palestina. 

Konflik-konflik tersebut memicu distribusi berbagai komoditas utama dunia, seperti minyak, gas, tepung, dll. Akibatnya, terjadi lonjakan inflasi di berbagai negara. Hingga saat ini, ketegangan geopolitik tersebut masih terasa impaknya.

Selain faktor luar, goncangan ekonomi juga berulang terjadi karena faktor domestik. Pasca kemerdekaan, Indonesia berjuang keras membangun tatanan ekonomi baru. Dalam kondisi politik dan keamanan yang labil waktu itu, terdapat proyek-proyek mercusuar ketika kemampuan finansial nasional belum siap. Akibatnya, hutang menunpuk sehingga sektor ekonomi carut marut. 

Saat itu, adapula kebijakan fenomenal "Gunting Syafrudin" yakni sanering atau pemotongan nilai rupiah. Puncaknya ialah menjelang revolusi tahun 60-an dengan terjadinya hiperinflasi. Banyak penelitian menyebutkan inflasi ketika itu mencapai 600% lebih.              

Indonesia kembali dihadapkan goncangan ekonomi berupa krisis moneter pada 1998. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan inflasi pada tahun itu sempat menyentuh 77% lebih.

Selain itu, kajian Bank Indonesia menyebutkan bahwa 1998 merupakan krisis perbankan terparah sepanjang sejarah perbankan nasional. Saat itu memang terjadi penutupan 16 bank. 

Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan  atau self-fulfilling prophecy runtuh hingga memicu adanya penarikan dana besar-besaran atau bank runs.

Turbulensi Melahirkan Inovasi

Dengan berbagai ujian itu, dunia ternyata masih membuktikan kemampuan mengatasi sekian turbulensi ekonomi. Setiap keterpurukan dijawab dengan kebangkitan, terus berulang. Data World Bank menunjukkan PDB global tidak pernah konstan alias terus berfluktuasi. 

Misalnya, pada 2020 saat pandemi, PDB global mencapai titik nadir -3,1%. Namun, setahun kemudian PDB global mencetak rekor tertinggi selama hampir 2 dekade yaitu 6,2%.    

Turun naikknya indikator ekonomi tersebut tentu tidak terlepas dari keberhasilan dalam mengatasi persoalan ekonomi yang tidak berhenti. Inovasi-inovasi kerap tercipta disaat kondisi ekonomi sedang sangat sulit.    

Bukti paling mudah dilihat adalah peristiwa yang baru saja umat manusia alami yaitu dampak pandemi Covid-19. Pembatasan ketat aktivitas fisik mendorong pelaku ekonomi untuk mencari solusi agar roda perekonomian tetap bergerak.

Dari situlah terjadi revolusi digital berupa akselerasi ekonomi berbasis teknologi yang semakin masif. Keterbatasan interaksi fisik dijembatani dengan beragam instrumen digital. Negara-negara di dunia pun terus mempercepat transformasi ekonomi digitalnya.

Di Indonesia, ekonomi digital dapat dikatakan telah menjadi "mainstream". Artinya, masyarakat sudah mulai terbiasa dengan aktivikas ekonomi berbasis teknologi itu. Kondisi itu dibuktikan dari beberapa indikator.

Pertama, berdasarkan Statistic eCommerce BPS, nilai eCommerce di Indonesia diperkirakan mencapai USD 59 milliar pada tahun 2022. Pertumbuhan eCommerce negeri ini juga tercepat kedua setelah Vietnam.

Nilai sektor tersebut bahkan diproyeksikan meningkat menjadi USD95 milliar pada 2025. Pertumbuhan tersebut signifikan apabila dibandingkan pada 2019 yang hanya sebesar USD 25 milliar.

Kedua, data BI menunjukkan berbagai pergerakan cepat transaksi digital pada 2023. Nilai transaksi digital banking tercatat Rp58.478 triliun atau tumbuh sebesar 13,48% (yoy) dan diproyeksikan meningkat 9,11% (yoy) hingga mencapai Rp63.803 triliun pada tahun 2024.

Nilai transaksi Uang Elektronik meningkat 43,45% (yoy) sehingga mencapai Rp835,84 triliun dan diproyeksikan meningkat 25,77% (yoy) hingga mencapai Rp1.051,24 triliun pada tahun 2024.

Nominal transaksi QRIS tercatat tumbuh 130,01% (yoy) dan mencapai Rp229,96 triliun, dengan jumlah pengguna 45,78 juta dan jumlah merchant 30,41 juta.  

(YoY atau year on year adalah perbandingan pertumbuhan tahun ini dengan tahun sebelumnya pada bulan yang sama)    

Meskipun ekosistem ekonomi digital telah dipersiapkan sejak lama, tidak dipungkiri bahwa terjadinya pandemi memberikan daya dorong yang kuat untuk percepatan perkembangannya.      

Selain pandemi, inovasi juga dipercepat karena adanya kejenuhan negara-negara di dunia terhadap dominasi AS dalam mempengaruhi pergerakan ekonomi global.

Kebijakan negeri Paman Sam itu kerapkali menimbulkan dampak ekonomi yang tidak menguntungkan bagi negara-negara lain. Misalnya, naik turunnya suku bunga acuan bank sentral AS berdampak pada menguat dan melemahnya kurs mata uang domestik terhadap dollar AS. Sikap tersebut sangat terasa saat ini ketika AS berupaya mengendalikan inflasinya yang tinggi sebagai dampak tekanan geopolitik.  

Ketergantungan yang terlanjur tinggi terhadap USD menjadi faktor utama terjadinya goncangan ekonomi global akibat tindakan AS. 

Oleh karenanya, saat ini mulai berkembang trend inovasi konektivitas pembayaran antar negara. Mereka tidak lagi menggunakan acuan USD untuk transaksinya atau disebut Local Currency Transaction.

Negara-negara ASEAN pun telah berinisiatif memperkuat koneksi pembayaran antar anggota. Hasilnya, secara bertahap mereka dapat mengurangi keterikatan dengan USD.    

Bagaimana ke Depan?

Apakah dengan selesainya persoalan ekonomi yang terjadi saat ini maka stabilitas ekonomi akan abadi dalam waktu ke depan? Belum tentu. 

Sejarah membuktikan bahwa turbulensi ekonomi kerapkali datang tanpa diduga dan diperhitungkan sebelumnya. Contohnya, dampak pandemi Covid-19, siapa yang pernah menyangka datangnya kejadian tersebut?

Untuk saat ini, memang berbagai persoalan relatif terpetakan dengan baik. Sepertihalnya, konflik bersenjata beberapa negara yang belum berakhir sudah mulai diukur dampak lanjutannya. Atau, keengenan bank sentral AS untuk menurunkan suku bunga acuannya telah dibaca oleh pasar. Di Indonesia, antisipasi risiko instabilitas ekonomi karena tahun politik juga sudah dipersiapkan.  

Namun, kondisi-kondisi tersebut semestinya tidak membuat dunia terlena. Kesiapan menghadapi kejadian tidak terduga harus selalu ada.

Wujud kesiapan di Indonesia dapat berupa penguatan daya tahan ekonomi seperti peningkatan pendapatan negara. Tak ketinggalan pula, menjaga kekokohan sektor keuangan yang merupakan jantung perekonomian bangsa. Dan tentunya, keterbukaan terhadap terobosan-terobosan kebijakan yang bertujuan mengoptimalkan potensi ekonomi bangsa, diantaranya keberlanjutan hilirisasi serta percepatan perluasan ekosistem ekonomi digital.        

Mengenai ujian ekonomi yang tak berkesudahan, ya mungkin itulah cara Tuhan mengajak manusia untuk senantiasa berpikir, belajar, dan bertindak, agar selalu maju ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun