Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mungkinkah Kartu Kredit Memasuki Masa "Sunset"?

22 November 2023   21:18 Diperbarui: 23 November 2023   07:26 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kartu kredit | sumber: shutterstock

Setidaknya, dua bank asing besar penerbit kartu kredit di Indonesia baru saja melepaskan bisnis kartu mereka ke bank lain. Alasannya mirip dan hampir bisa ditebak, yaitu adanya perubahan rencana bisnis.

Sudah menjadi business as usual, perbankan sebagai sektor berbasis trust akan selalu berupaya menyampaikan kabar positif kepada publik untuk menjaga kepercayaan mereka.

Terlepas apapun latar belakang aksi korporasi itu, saya tertarik mengulas pelepasan lini bisnis kartu kredit. Lini bisnis yang dulu menjadi andalan bank-bank tersebut. Jika sekiranya masih menguntungkan, rasanya kurang tepat apabila mereka melepaskannya. 

Jadi, mungkinkah kartu kredit sedang memasuki periode sunset atau tenggelam?

Benarkah sedang Sunset?

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, dari segi jumlah kartu sebetulnya masih terjadi peningkatan meskipun tidak signifikan yakni, dari 16,94 juta pada 2020 menjadi 17,91 juta pada September 2023. 

Trend serupa nampak pada akumulasi volume dan nilai transaksi tahunan. Pada 2020 membukukan 274,68 juta transaksi dengan nominal Rp238,90T dibandingkan pada 2022 sebesar 342,76 juta transaksi dengan nominal 323,60T.

Dari angka-angka itu, tidak terbukti terjadi penurunan aktivitas kartu kredit. Lalu, coba kita lihat aspek lainnya.

Stagnasi Inovasi

Menarik juga pendapat Dr. Indrawan Nugroho dalam kanal YouTube-nya yang menyatakan terjadinya stagnasi inovasi kartu kredit. 

Menurutnya, selain peningkatan pengamanan kartu dari magnetic stripe menjadi chip, yang lain tidak banyak berubah. Misalnya, pemberian daya tarik melalui poin hadiah atau diskon. Indrawan pun mewanti-wanti, stagnasi tersebut membuka potensi terjadinya disrupsi terhadap kartu kredit.

Ada betulnya juga pendapat tersebut. Jika kita adalah pengguna kartu kredit yang sudah sepuluh tahun atau lebih, memang dalam kurun waktu itu nyaris tidak ada perubahan signifikan dari instrumen utang ini.

Fitur-fiturnya masih seputaran cicilan 0%, diskon, atau poin berhadiah. Era sekarang, fitur semacam itu bukan lagi daya tarik utama kartu kredit. Pasalnya, instrumen dan cara pembayaran lainnya juga mampu menawarkan layanan serupa, misalnya paylater atau mobile payment.

Tambah lagi, ada beragam persoalan penggunaan kartu kredit yang sudah menahun namun masih terulang. Yang umum terjadi adalah pengenaan biaya tambahan transaksi, kurang transparansinya berbagai beban biaya, dan penagihan yang kasar.

Pengenaan Biaya Tambahan (surcharge)

Masih saja ada penyedia barang/jasa (merchant) yang mengenakan surcharge kepada pembeli jika pembayaran menggunakan kartu kredit. 

Besaran yang mereka kenakan berkisar 3% dari nilai pembayaran. Tentu saja jika pembeli mempunyai alternatif pembayaran lain atau tidak berniat berhutang, mereka akan mengesampingkan penggunaan kartu kredit.

Sebenarnya, pengenaan surcharge kepada pembeli telah dilarang oleh BI sesuai Pasal 52 Peraturan Bank Indonesia No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP). 

Sayangnya, penegakannya belum optimal. Pihak bank sebagai Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), yang semestinya wajib menindaklanjuti pelanggaran merchant-nya, cenderung membiarkan praktik salah itu.

Macam-macam Biaya

Selain surcharge, pemegang kartu kredit bisa terkena beban tambahan di luar transaksi, seperti bunga, denda, dan iuran tahunan.

Bunga merupakan beban yang harus dibayar sebagai konsekuensi pemegang kartu yang tidak melakukan pembayaran, melakukan pembayaran tidak penuh, atau melakukan pembayaran penuh setelah tanggal jatuh tempo.  

Kemudian, denda diperhitungkan jika pemegang kartu terlambat melakukan pembayaran. BI sementara ini memberikan keringanan pembayaran denda maksimal Rp100.000,00 hingga 31 Desember 2023.

Terakhir, iuran tahunan yang nilainya disesuaikan dengan jenis dan kelas kartu kredit yang dimiliki. Sebagian penerbit kartu membebaskan iuran dimaksud.  

Semua beban biaya tersebut merupakan kompensasi dari fitur utang kartu kredit. Kecuali iuran tahunan, bunga dan denda lazim muncul pada fasilitas utang. Namun, pengenaan beban biaya dalam kartu kredit kerap memicu sengketa antara nasabah dengan bank.

Akar persoalannya adalah adanya ketidakseimbangan informasi mengenai ketentuan biaya-biaya tersebut. Ketidakseimbangan bisa muncul karena penerbit kurang atau tidak menginformasikannya kepada nasabah. Atau, nasabah tidak menyimak atau membaca syarat dan ketentuan yang diberlakukan kepadanya.

Etika Penagihan    

Pengaduan pengguna kartu kredit yang memperoleh perlakuan kasar dari penagih (debt collector) masih jamak terjadi. Pasal 191 PBI PJP sebetulnya sudah mengatur etika penagihan baik dilakukan sendiri oleh bank atau melalui penyedia jasa penagihan.

Dalam kenyataannya, pihak bank kerap tidak mengawasi perilaku debt collector-nya saat melakukan penagihan. Hal itu dikarenakan bank merasa telah menyerahkan semua proses penagihan kepada pihak ketiga.

Perbaikan untuk Bertahan

Meskipun data menunjukkan penggunaan fasilitas utang itu masih dalam grafik positif, bukan berarti pelaku bisnis kartu kredit bisa berleha-leha tanpa memikirkan pengembangan produknya ke depan. Tanpa adanya perubahan, tidak menutup kemungkinan kartu kredit bakalan ditinggalkan.

Instrumen keuangan yang adaptif dengan permintaan masa kini adalah yang diperlukan. Tuntutan layanan ekonomi digital umumnya mengarah pada kemudahan, kecepatan, keamanan, dan keefisienan biaya. 

Sekarang sudah mulai berkembang instrumen keuangan berbasis utang yang rupanya cepat beradapsi dengan tuntutan pasar, sepertihalnya paylater.

Ditambahkan lagi, trend gaya hidup tanpa kartu terbukti kian populer. BI mencatatkan kenaikan berkelanjutan nilai transaksi mobile banking, uang elektronik, dan QRIS. 

Berbanding terbalik dengan akumulasi nilai transaksi pembayaran kartu yang terdiri dari ATM, kartu debet, dan kartu kredit yang mengalami penurunan beberapa bulan terakhir. 

Statistik tersebut tidak serta-merta menyimpulkan penggunaan kartu ditinggalkan. Namun, sebatas indikator perubahan perilaku masyarakat. Pembayaran dengan kartu kredit sebenarnya bisa pula dilakukan tanpa kartu, seperti saat transaksi online.

Mengutip artikel The Economist berjudul Apple and Goldman Sachs Launch Their Credit Card, dua perusahaan raksasa yaitu Apple dan Goldman Sachs bekerjasama menerbitkan Apple Card. Produk tersebut sebenarnya kartu kredit namun dilengkapi berbagai fitur baru.

Kelebihan yang mereka tawarkan nampaknya pembaharuan fitur kartu kredit lama yang mulai menjemukan. Diantaranya, proses aplikasi kartu yang sangat cepat dalam hitungan menit, pembebasan biaya-biaya penggunaan kartu atau denda keterlambatan, dll.

Melihat agresifnya inovasi Apple Card, sebagai alat pembayaran kartu tertua, kartu kredit semestinya lebih terbuka terhadap perubahan. Tujuannya, agar mampu bertahan di tengah ancaman disrupsi. Transformasi bisnis yang bisa mengakomodir trend kebutuhan terkini pun mutlak diperlukan.

Merubah proses bisnis yang sudah lama dijalankan dan terbukti memberikan kenyamanan tentunya tidak mudah, tapi tetap harus dilakukan.

Bukan Sekedar Utang

Meskipun pada dasarnya instrumen utang, akan lebih baik jika kartu kredit ini mampu memberi daya tarik yang lebih dalam hal bertransaksi non tunai, bukan sekedar kesempatan mengambil utang. Penggunanya pun diharapkan mereka yang hendak mengedepankan kemudahan dan kenyamanan pembayaran, tidak cuma mereka para pemburu kemudahan berhutang.      

Kesempatan untuk perbaikan dan pengembangan masih terbuka. Kesempatan itu harus segera dimanfaatkan agar momentum keindahan bukan karena sunset, tapi karena sunrise.           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun