Menurutnya, selain peningkatan pengamanan kartu dari magnetic stripe menjadi chip, yang lain tidak banyak berubah. Misalnya, pemberian daya tarik melalui poin hadiah atau diskon. Indrawan pun mewanti-wanti, stagnasi tersebut membuka potensi terjadinya disrupsi terhadap kartu kredit.
Ada betulnya juga pendapat tersebut. Jika kita adalah pengguna kartu kredit yang sudah sepuluh tahun atau lebih, memang dalam kurun waktu itu nyaris tidak ada perubahan signifikan dari instrumen utang ini.
Fitur-fiturnya masih seputaran cicilan 0%, diskon, atau poin berhadiah. Era sekarang, fitur semacam itu bukan lagi daya tarik utama kartu kredit. Pasalnya, instrumen dan cara pembayaran lainnya juga mampu menawarkan layanan serupa, misalnya paylater atau mobile payment.
Tambah lagi, ada beragam persoalan penggunaan kartu kredit yang sudah menahun namun masih terulang. Yang umum terjadi adalah pengenaan biaya tambahan transaksi, kurang transparansinya berbagai beban biaya, dan penagihan yang kasar.
Pengenaan Biaya Tambahan (surcharge)
Masih saja ada penyedia barang/jasa (merchant) yang mengenakan surcharge kepada pembeli jika pembayaran menggunakan kartu kredit.Â
Besaran yang mereka kenakan berkisar 3% dari nilai pembayaran. Tentu saja jika pembeli mempunyai alternatif pembayaran lain atau tidak berniat berhutang, mereka akan mengesampingkan penggunaan kartu kredit.
Sebenarnya, pengenaan surcharge kepada pembeli telah dilarang oleh BI sesuai Pasal 52 Peraturan Bank Indonesia No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP).Â
Sayangnya, penegakannya belum optimal. Pihak bank sebagai Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), yang semestinya wajib menindaklanjuti pelanggaran merchant-nya, cenderung membiarkan praktik salah itu.
Macam-macam Biaya
Selain surcharge, pemegang kartu kredit bisa terkena beban tambahan di luar transaksi, seperti bunga, denda, dan iuran tahunan.