Dari sisi hukum pidana, tindakan pelaku memenuhi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman pidana 15 tahun penjara. Jika terbukti ada unsur perencanaan, pelaku dapat dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, yang ancaman pidananya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Namun, dalam penegakan hukum, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi tindakan pelaku, seperti motivasi dan keadaan mentalnya saat kejadian.
1. Motivasi dan Latar Belakang Tindakan
Dalam kasus ini, penting bagi penyidik untuk menggali alasan di balik tindakan pelaku. Apakah pelaku bertindak dalam keadaan emosi yang tidak terkendali, tekanan psikologis, atau sebagai reaksi terhadap kekerasan sebelumnya? Jika ditemukan bukti bahwa pelaku mengalami kekerasan atau tekanan berat dari korban, hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam persidangan.
2. Keadaan Mental Pelaku
Pemeriksaan psikologis terhadap pelaku wajib dilakukan untuk menilai apakah ia memiliki gangguan mental atau berada dalam keadaan tidak mampu mengendalikan diri saat kejadian. Jika terbukti bahwa pelaku memiliki gangguan jiwa yang signifikan, hukuman pidana dapat disesuaikan atau diganti dengan rehabilitasi.
3. Pendekatan Keadilan Restoratif
Dalam kasus seperti ini, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dapat menjadi alternatif. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada pemulihan hubungan sosial dan psikologis yang rusak akibat kejahatan. Dalam konteks keluarga, pendekatan ini dapat membantu pelaku dan anggota keluarga lainnya untuk menjalani proses rekonsiliasi yang lebih sehat.
Tantangan dalam Penegakan Hukum
Penanganan kasus ini menghadapi tantangan besar dalam memastikan keadilan bagi semua pihak. Pertama, aparat penegak hukum harus bekerja secara objektif, mengesampingkan bias dan asumsi tentang usia atau latar belakang pelaku. Kedua, masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap pelaku kejahatan, terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri. Stigma ini dapat menghambat upaya rehabilitasi dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat.
Selain itu, kasus ini menyoroti pentingnya reformasi dalam sistem peradilan pidana anak. Walaupun pelaku remaja ini sudah dapat diproses hukum sebagai orang dewasa, sistem peradilan anak tetap harus mengedepankan prinsip perlindungan dan pendidikan, bukan semata-mata penghukuman.