Sejumlah pihak memandang seharusnya kelebihan dana hasil penghematan tersebut dikembalikan kepada jemaah yang telah menyelesaikan ibadah haji.Â
Apabila digunakan pendekatan akad wakalah, pengelola dana (wakil) hanya boleh menggunakan dana sesuai intruksi muwakkil dan sisa dana operasional haji tersebut wajib dikembalikan kepada muwakkil karena wakil tidak memiliki hak atas itu. Namun dengan pertimbangan operasional pembagiannya akan sulit, sisa dana tersebut beserta hasil pengembangannya diputuskan digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
Dari sudut pandang syariah, mengingat jemaah tidak secara jelas menyatakan keikhlasan atau kerelaannya jika setoran yang dibayarkannya digunakan untuk kepentingan selain penyelenggaraan ibadah haji, banyak yang memandang DAU merupakan dana yang tidak jelas statusnya. Terlebih dalam pengelolaannya sebagian diantaranya pernah ditempatkan pada bank konvensional, sehingga akumulasi DAU dianggap telah bercampur dengan unsur riba.
Pembahasan status harta DAU pernah pula didiskusikan di Majelis Ulama Indonesia. Sebagian ahli agama berpendapat DAU merupakan harta wakaf dan sebagian lainnya menyatakan sebagai harta hibah.Â
DAU mempunyai karakteristik sebagai harta wakaf mengingat bukan kepemilikan individu dan kegunaannya untuk kemaslahatan umat Islam, meskipun dana tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun sebagai harta wakaf. Sebaliknya, DAU tidak pula dapat disebut sebagai harta hibah karena adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang menghibahkan dan dihibahkan kepada siapa.
Dari segi keuangan negara, jika sebelumnya terdapat perbedaan pandangan antara budgetary dan non-budgetary, dengan UU Nomor 34 Tahun 2014 statusnya menjadi jelas.Â
Pada Pasal 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa "Keuangan Haji adalah semua hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat".
Nilai manfaat atau hasil pengembangan DAU dikelola oleh BPKH untuk digunakan sebagai sumber pendanaan bagi kegiatan kemaslahatan umat Islam.Â
Dalam Pasal 5 UU 34 Tahun 2014 dinyatakan bahwa DAU merupakan bagian dari penerimaan keuangan haji, sedangkan berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 17, pengeluaran keuangan haji meliputi pula pengeluaran kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam yang pendanaannya berasal dari nilai manfaat DAU. Dengan demikian, DAU beserta imbal hasil atau nilai manfaatnya merupakan bagian dari keuangan negara.Â
Oleh karenanya sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, DAU dan nilai manfaatnya perlu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Wallahu A'lam Bish Shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H