Sampai saat ini masih banyak yang belum memahami perbedaan antara Dana Haji dan Dana Abadi Umat. Sebagian masyarakat masih beranggapan keduanya merujuk pada kumpulan dana (pool of fund) yang sama dan peruntukan yang tidak berbeda pula. Pada saat Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melaksanakan kegiatan kemaslahatan, banyak yang berprasangka sumbernya dari dana setoran haji.
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Dana Haji didefinisikan sebagai dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.
Sedangkan Dana Abadi Umat (DAU) adalah sejumlah dana yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 diperoleh dari hasil pengembangan DAU dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji, serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jumlah DAU pada saat ini berkisar Rp3,7 triliun. Nilai manfaat atau hasil pengembangan DAU tersebut digunakan sebagai sumber pendanaan dalam kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.
Awal Mula DAU
Gagasan pembentukan DAU bermula dari sebuah seminar pada tahun 1994 yang bertema tabungan haji. Niat pembentukan dana tersebut dimaksudkan untuk membantu penyelenggaraan ibadah haji, pendidikan, pembangunan rumah ibadah, dan pemberantasan kemiskinan.Â
Sumber dana tersebut berasal dari hasil efisiensi dan penghematan biaya penyelenggaraan ibadah haji, utamanya dari harga tiket penerbangan dan biaya penginapan. Hasil seminar tersebut dibawa kepada Presiden dan ditindaklanjuti dengan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 35 Tahun 1996 tentang Badan Pengelola Ongkos Naik Haji (BP-ONH).
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dalam rangka pengelolaan DAU secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat, Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP-DAU) yang diketuai oleh Menteri Agama.Â
BP-DAU terdiri atas Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri Agama. BP-DAU mempunyai tugas pokok merencanakan, mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan DAU, serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan DPR.
Sebagai pengaturan lebih lanjut dari UU Nomor 17 Tahun 1999 diterbitkan Keppres Nomor 22 Tahun 2001 tentang BP-DAU. Dalam Pasal 19 Keppres tersebut dinyatakan bahwa segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas BP-DAU dibebankan pada hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 88 Tahun 2003 diatur mengenai tunjangan fungsional untuk Ketua, Dewan Pengawas, Dewan Pelaksana, dan staf pengelola BP-DAU, termasuk biaya perjalanan dinas dan tunjangan hari raya.
Besaran tunjangan dan biaya perjalanan dinas yang dianggap berlebihan, serta kriteria peruntukan dan penggunaan imbal hasil DAU yang tidak jelas telah memantik silang pendapat. Perdebatan juga menyasar pada status DAU, sebagai bagian keuangan negara (budgetary) atau bukan bagian keuangan negara (non-budgetary).Â
Selain itu, adanya multitafsir ketentuan dalam Keppres dan KMA tersebut telah memunculkan tudingan penyalahgunaan wewenang dan dugaan tindak pidana korupsi. Penggunaan Keppres, bukannya Peraturan Pemerintah, sebagai dasar pengambilan kebijakan publik terkait DAU juga menimbulkan pertanyaan.