Mohon tunggu...
Hari Prasetya
Hari Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Knowledge Seeker

Mengais ilmu dan berbagi perenungan seputar perbankan, keuangan, dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bermula dari Hemat, Terkumpul Dana Abadi Umat

30 Agustus 2021   22:24 Diperbarui: 31 Agustus 2021   06:47 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai saat ini masih banyak yang belum memahami perbedaan antara Dana Haji dan Dana Abadi Umat. Sebagian masyarakat masih beranggapan keduanya merujuk pada kumpulan dana (pool of fund) yang sama dan peruntukan yang tidak berbeda pula. Pada saat Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melaksanakan kegiatan kemaslahatan, banyak yang berprasangka sumbernya dari dana setoran haji.

Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Dana Haji didefinisikan sebagai dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.

Sedangkan Dana Abadi Umat (DAU) adalah sejumlah dana yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 diperoleh dari hasil pengembangan DAU dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji, serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jumlah DAU pada saat ini berkisar Rp3,7 triliun. Nilai manfaat atau hasil pengembangan DAU tersebut digunakan sebagai sumber pendanaan dalam kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.

Awal Mula DAU

Gagasan pembentukan DAU bermula dari sebuah seminar pada tahun 1994 yang bertema tabungan haji. Niat pembentukan dana tersebut dimaksudkan untuk membantu penyelenggaraan ibadah haji, pendidikan, pembangunan rumah ibadah, dan pemberantasan kemiskinan. 

Sumber dana tersebut berasal dari hasil efisiensi dan penghematan biaya penyelenggaraan ibadah haji, utamanya dari harga tiket penerbangan dan biaya penginapan. Hasil seminar tersebut dibawa kepada Presiden dan ditindaklanjuti dengan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 35 Tahun 1996 tentang Badan Pengelola Ongkos Naik Haji (BP-ONH).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dalam rangka pengelolaan DAU secara lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat, Pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP-DAU) yang diketuai oleh Menteri Agama. 

BP-DAU terdiri atas Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri Agama. BP-DAU mempunyai tugas pokok merencanakan, mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan DAU, serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan DPR.

Sebagai pengaturan lebih lanjut dari UU Nomor 17 Tahun 1999 diterbitkan Keppres Nomor 22 Tahun 2001 tentang BP-DAU. Dalam Pasal 19 Keppres tersebut dinyatakan bahwa segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas BP-DAU dibebankan pada hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 88 Tahun 2003 diatur mengenai tunjangan fungsional untuk Ketua, Dewan Pengawas, Dewan Pelaksana, dan staf pengelola BP-DAU, termasuk biaya perjalanan dinas dan tunjangan hari raya.

Besaran tunjangan dan biaya perjalanan dinas yang dianggap berlebihan, serta kriteria peruntukan dan penggunaan imbal hasil DAU yang tidak jelas telah memantik silang pendapat. Perdebatan juga menyasar pada status DAU, sebagai bagian keuangan negara (budgetary) atau bukan bagian keuangan negara (non-budgetary). 

Selain itu, adanya multitafsir ketentuan dalam Keppres dan KMA tersebut telah memunculkan tudingan penyalahgunaan wewenang dan dugaan tindak pidana korupsi. Penggunaan Keppres, bukannya Peraturan Pemerintah, sebagai dasar pengambilan kebijakan publik terkait DAU juga menimbulkan pertanyaan.

Menanggapi berbagai permasalahan tersebut, serta adanya kasus tindak pidana korupsi yang telah sampai ke meja hijau, Menteri Agama membekukan penggunaan DAU terhitung Mei 2005 dan menghentikan semua bantuan kegiatan kemaslahatan umat Islam dan biaya pelaksanaan tugas BP-DAU. Sejak itu, DAU yang disimpan di beberapa bank syariah dan bank konvensional dalam rekening atas nama Menteri Agama, terus berkembang tanpa ada pencairan pokok dan imbal hasilnya.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, ketentuan mengenai Pengelolaan DAU diatur dalam Bab XIV Pasal 47 s.d Pasal 62. Menteri Agama ditetapkan sebagai Ketua/Penanggung Jawab BP-DAU. 

Meskipun aktivitas penggunaan DAU dibekukan, sebagai upaya meningkatkan nilai manfaat DAU, Menteri Keuangan dan Menteri Agama melakukan penandatanganan MoU pada 22 April 2009, yang berisi kesepakatan untuk menempatkan sebagian dana haji dan DAU ke dalam Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) dengan cara private placement.

Selanjutnya dalam UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji diatur bahwa DAU merupakan bagian dari Dana Haji yang diamanahkan pengelolaannya kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 

Presiden melantik Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana BPKH pada 26 Juli 2017 dan merujuk Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2017 yang ditetapkan tanggal 11 Desember 2017 disebutkan bahwa "Berdasarkan Peraturan Presiden ini dibentuk BPKH". Aset haji termasuk DAU diserahkan pengelolaannya oleh Kementerian Agama kepada BPKH pada tahun 2018.

Pasal 56 UU Nomor 34 Tahun 2014 menyatakan bahwa "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan Keuangan Haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini."

Ketentuan mengenai Pengelolaan DAU dalam Bab XIV Pasal 47 s.d Pasal 62 UU Nomor 13 Tahun 2008 bertentangan dengan Ketentuan mengenai BPKH dalam Pasal 20 s.d Pasal 33 UU Nomor 34 Tahun 2014, sehingga seharusnya menjadi tidak berlaku dan batal demi hukum. 

Namun dalam Pasal 129 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, disebutkan bahwa "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dinyatakan bubar, serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri Agama. Ketentuan peralihan dalam UU Nomor 34 Tahun 2014 dan UU Nomor 8 Tahun 2019 sepertinya kurang selaras dan berpotensi membingungkan masyarakat.

Status Harta DAU

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, DAU pada dasarnya berasal dari hasil efisiensi atau penghematan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Kementerian Agama sebelum mengusulkan penetapan biaya haji terlebih dahulu melakukan survei lapangan baik di tanah air maupun di Arab Saudi sebagai dasar penghitungan besaran komponen biaya haji. 

Selanjutnya ditentukan sumber pendanaan untuk menyokong biaya tersebut, termasuk mengusulkan penetapan biaya yang harus dibayar oleh setiap calon jemaah, lazim disebut direct cost. Setelah pelaksanaan ibadah haji jika terdapat sisa dana dari penghematan anggaran biaya haji, maka akan diakumulasikan dalam DAU.

Sejumlah pihak memandang seharusnya kelebihan dana hasil penghematan tersebut dikembalikan kepada jemaah yang telah menyelesaikan ibadah haji. 

Apabila digunakan pendekatan akad wakalah, pengelola dana (wakil) hanya boleh menggunakan dana sesuai intruksi muwakkil dan sisa dana operasional haji tersebut wajib dikembalikan kepada muwakkil karena wakil tidak memiliki hak atas itu. Namun dengan pertimbangan operasional pembagiannya akan sulit, sisa dana tersebut beserta hasil pengembangannya diputuskan digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.

Dari sudut pandang syariah, mengingat jemaah tidak secara jelas menyatakan keikhlasan atau kerelaannya jika setoran yang dibayarkannya digunakan untuk kepentingan selain penyelenggaraan ibadah haji, banyak yang memandang DAU merupakan dana yang tidak jelas statusnya. Terlebih dalam pengelolaannya sebagian diantaranya pernah ditempatkan pada bank konvensional, sehingga akumulasi DAU dianggap telah bercampur dengan unsur riba.

Pembahasan status harta DAU pernah pula didiskusikan di Majelis Ulama Indonesia. Sebagian ahli agama berpendapat DAU merupakan harta wakaf dan sebagian lainnya menyatakan sebagai harta hibah. 

DAU mempunyai karakteristik sebagai harta wakaf mengingat bukan kepemilikan individu dan kegunaannya untuk kemaslahatan umat Islam, meskipun dana tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun sebagai harta wakaf. Sebaliknya, DAU tidak pula dapat disebut sebagai harta hibah karena adanya ketidakjelasan mengenai siapa yang menghibahkan dan dihibahkan kepada siapa.

Dari segi keuangan negara, jika sebelumnya terdapat perbedaan pandangan antara budgetary dan non-budgetary, dengan UU Nomor 34 Tahun 2014 statusnya menjadi jelas. 

Pada Pasal 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa "Keuangan Haji adalah semua hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat".

Nilai manfaat atau hasil pengembangan DAU dikelola oleh BPKH untuk digunakan sebagai sumber pendanaan bagi kegiatan kemaslahatan umat Islam. 

Dalam Pasal 5 UU 34 Tahun 2014 dinyatakan bahwa DAU merupakan bagian dari penerimaan keuangan haji, sedangkan berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 17, pengeluaran keuangan haji meliputi pula pengeluaran kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam yang pendanaannya berasal dari nilai manfaat DAU. Dengan demikian, DAU beserta imbal hasil atau nilai manfaatnya merupakan bagian dari keuangan negara. 

Oleh karenanya sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, DAU dan nilai manfaatnya perlu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Wallahu A'lam Bish Shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun