Kedua, tentu saja, penjualannya harus berada pada medium digital. Dimana aturan pembatasan social yang diberlakukan Pemerintah, tidak akan menjadi alasan lagi akan lesunya penjualan tadi. Kita bisa berjualan lewat media social, plus memberikan layanan kurir dalam satu pembayaran.
Ketiga rasa Empati, dengan menjual makanan, dan minuman bisa saja kita ikut berempati pada kondisi saat ini kan?
Sembari menjual kue, saya juga bisa konsisten mendonasikan beberapa potong kue/makanan yang bisa disumbangkan untuk takjil di Masjid. Sehingga tujuan kita berusaha apa saja, bisa menjadi berkah dengan berbagi sesama. Dimana kita percayakan? Jika bersedakah bisa membuka pintu rejeki kita lebar-lebar.
Nah dengan 3 pertimbangan itu, bisa menjadi inspirasi sederhana saya, dalam bertahan di tengah Pandemi untuk menguatkan SSK Keluarga, dan menunda menerima Kredit -sementara- meski kebetulan gampang saya dapatkan.
Hasilnya not bad-lah, untuk bertahan, tanpa mengharap bantuan siapapun, dan malah bisa berbagi lagi, dengan lainnya!
Kredit, Makroprudensial, dan SSK
Kredit-Debet adalah proses cashflow roda ekonomi. Dengan pengelolaan kredit yang baik tentu bisa -harusnya- menumbuhkan pendapatan positif, yang mencatatkan nilai ekonomi yang baik.
Nah saya pikir, dalam konteks itu, aktivitas kredit menjadi nyawa aktivitas ekonomi, yang biasa dijalankan Perbankan sebagai instrument SSK. Dan bukan hal tabu!
Namun, tentu keseimbangan aktivitas kredit di tengah masyarakat-pun harus dikontrol, tidak boleh tinggi atau rendah. Di sinilah kebijakan Makroprudensial berperan, melalui pembatasan-pembatasan kredit.
Nah dalam masa Pandemi ini, Makroprudensial diuji, dimana pemberian kredit masyarakat di tengah Pandemi ini juga harus diseimbangkan, agar tidak menyebabakan gagal-bayar, yang bisa memunculkan krisis keuangan baru.