Jika dibreakdown, Rp 75 Triliun dibagikan untuk hal penaggulangan Kesehatan, Rp 110 Triliun untuk biaya jaring pengaman sosial, dan juga Rp 70.1 Triliun untuk hal stimulus perpajakan dan  kredit usaha rakyat.
Terpenting adalah terdapat juga dana Rp 150 Triliun untuk pemulihan ekonomi Nasional.
Artinya, sisi ekonomi diharapakan menjadi tulang rusuk negara, yang harus tegak setelah Pandemi? Disinilah klimaksnya!
Seperti pepatah mengatakan, ada gula ada semut, dalam segala kebijakan populis terutama penanganan dampak bencana, selalu tersedia dana besar, biasanya  menyisakan permasalahan di lapangan, seperti pendistribusian.
Namun pertanyaannya lagi, apakah dana yang besar, akan cukup dibagi rata untuk semua masyarakat luas terdampak? Kebijakan populis apapun tentu tidak akan bisa menaksir jumlahnya bakal cukup apa tidak, akan terasa kurang terus!
Uang adalah raja? Yang bisa menjadi pengerak semua rencana dan bisa menjadi indikator penjamin keberhasilannya? Lantas bagaimana jika uang di kantong ngepas dengan kebutuhan lain yang juga urgent? Ya dikelola dengan benar dong!
Dalam praktiknya, kebijakan populis yang mengebu-gebu dengan program subsidi besar-besaran bisa menjadi antithesis dari arah kebijakan ekonomi yang kuat, yang malah bisa mengancam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) negara, jika diumbar.
Nah dalam mencapai sasaran SSK Negara yang bisa teruji dalam meredam penaggulangan berbagai Bencana apapun, perlulah didukung jua dengan perilaku masyarakat yang sejalan dengan visi penyelamatan SSK dalam ring keluarga dahulu.
Terutama ya di masa Pandemi ini, dimana masing-masing kita diharapkan bisa menemukan cara cerdas hidup di tengah Pandemi.
Kredit, masalah atau solusi buat kita-kita?
Teringat, di awal Ramadhan lalu, seorang Staff-Bank, menghubungi saya. Mbaknya -si penelfon- ingin menawarkan penyaluran pinjaman kredit Bank kepada saya.
Prosesnya -katanya- dibuat mudah, verifikasi data dilakukan via telpon saja, dan hanya menyerahkan syarat formalnya kemudian via e-mail saja.