Mohon tunggu...
Hari Widiyanto
Hari Widiyanto Mohon Tunggu... -

Suka menulis fiksi dan non fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dian Tak Kunjung Padam

23 Juni 2017   10:06 Diperbarui: 23 Juni 2017   13:41 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang Pemred (Pemimpin Redaksi) sebuah surat kabar lokal, aku sangat senang bekerja sama dengan Arman. Walaupun baru lima bulan bergabung dengan redaksi, dia sudah mempunyai banyak kelebihan menjadi  seorang jurnalis mumpuni.

Awal-awal aku mengenal dirinya ketika dia sering mengirimkan artikel tentang pertanian yang dimuat dalam rubrik opini koranku. Selain tulisannya tajam, juga disertai jalan keluar permasalahan. Ketika kutanya kenapa bisa menulis sebagus ini, dia menjawab karena sering berdiskusi dengan orang-orang yang lebih senior dari kalangan akademisi, birokrasi dan  praktisi.

Suatu saat reporter desk ekonomi pertanian mengundurkan diri karena dibajak oleh koran regional. Iseng-iseng aku menawarkan posisi yang ditinggalkan oleh Wawan pada Arman.

Awalnya, ide untuk menerima Arman ditentang oleh tim redaksi yang rata-rata lulusan S-1. Joni sang kordinator liputan adalah yang paling keras menolak. Alasannya karena menyalahi syarat standar pendidikan.

"Mending, kalau dia D-3. Dia hanya lulusan SMA, plus pengalaman mengurus majalah dinding di SMA," kata Joni.

"Dia masuh terlalu muda, baru 20 tahun Boss," kata Heri wakil Pemred.

"Okelah, kita coba dulu barang tiga bulan," aku menengahi.

Ketika telah tiga bulan, setelah tim redaksi mengevaluasi prestasi dan kinerjanya, usul menerima Arman diterima secara aklamasi.

**

Sore itu sekitar jam tiga kami sedang rapat redaksi. Telpon di ruang redaksi berdering. "Pak, Kabag Humas Pemkab Boledsari minta berbicara dengan bapak," kata anak PKL (Praktek Kerja Lapangan) SMK satu-satunya di kota ini yang mempunyai jurusan grafika.

Suasana rapat redaksi yang sedang berlangsung seru pecah karena telpon itu. "Pak Darmanto, tolong jangan kirim lagi reporter Arman untuk kegiatan kedinasan di lingkungan Pemkab, kecuali jika kerjasama yang telah kami jalin baik dengan koran anda mau dihentikan." Dalam telponnya, Kabag Humas lantas meyebutkan judul-judul berita tulisan Arman yang telah diklipingkan. Kabag Humas sangat menggarisbawahi berita edisi kemarin, tentang kunjungan Nyonya Elita Ketua TIM Penggerak PKK Kabupaten Boledsari  ke desa Pegandhulan dalam rangka seremonial program KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari).

Kabag Humas menutup pembicaraan telpon dibarengi suara seperti suara bantingan  gagang telpun.

"Mbak Erna, tolong telponkan  Mas Arman, dia supaya segera ke kantor redaksi sekarang!" perintahku pada salah satu  anak PKL.

"Baik Pak."

Selang lima menit, Arman sudah menghampiri meja kerjaku. "Lho kok cepat amat datangnya Man?"

"Ya nih Pak, ketika Mbak Erna telpon, kebetulan saya sedang perjalanan pulang dari liputan sawah puso akibat hama wereng." Penampilan Arman tampak lusuh. Celananya belepotan lumpur.

Aku segera mengambil koran edisi kemarin yang ada berita kegiatan yang dihadiri Nyonya Elita dan para Kepala SKPD. Berita itu telah kutandai dengan sapuan stabilo merah. "Man, kemarin kamu tanya apa saja pada narsum yang istri Bupati itu?"

"Saya tanya tentang jenis-jenis sayuran yang ditanam di polybag. Bu Bupati tidak bisa menjawab secara lengkap nama-nama sayuran itu."

"Terus?"

"Saya bertanya lagi, Bu.. deskripsi program KRPL yang dibuat oleh pemerintah pusat via Kementan itu sangat bagus deskripsinya. Tetapi kok pelaksanaan di lapangan melenceng? Lantas ibu Bupati dengan muka marah balik bertanya, apanya yang melenceng? Saya menjawab, ini kok di lapangan menanam sayuran yang bukan sayuran lokal? Contohnya sawi jerman. Deskripsi program KRPL yang dirancang oleh Kementan kan mengisyaratkan menanam sayuran lokal sebagai bentuk konservasi  sayuran lokal."

"Terus?"

"Saya tanya lagi, program ini berlangsung di pedesaan, tetapi kok sayuran-sayuran ini di tanam dengan poybag? Bukankah di desa ini masih banyak kepala keluarga yang memiliki pekarangan luas. Mestinya ditanam langsung di tanah. Beda lagi kalau yang menanam kepala keluarga yang berada di perkotaan yang lahan pekarangannya sempit dan tanahnya sudah dipasang conblock. Ini seharusnya untuk program KRPL perkotaan Bu.."

"Terus?"

"Bu Bupati lantas marah, dia bilang, tahu apa kamu anak kecil? Beliau lantas ngeloyor masuk mobil plat merahnya. Sebagai jurnalis yang nggak mau dikatakan jurnalis robot, saya kira saya sudah benar Pak. Sebelum pergi liputan di lapangan, saya selalu  pelajari dulu topik liputan. Acara seremonial itu sarat dengan pencitraan Pak. Katanya koran kita bermoto berimbang Pak?" kalimat-kalimat Arman meluncur dari mulutnya dengan berapi-api.

Arman kemudian googling situs Balitbang Kementan di internet. Nih Pak, saya bacakan ya deskripsi program KRPL yang sebetulnya sangat mulia, "Prinsip dasar KRPL adalah: (i) pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk ketahanan dan kemandirian pangan, (ii) diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, (iii) konservasi sumberdaya genetik pangan (tanaman, ternak, ikan), dan (iv) menjaga kelestariannya melalui kebun bibit desa menuju (v) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat."

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan.

"Pak, butir i sampai v tidak ada yang memenuhi kaidah-kaidah yang direncanakan oleh Kementan. Kesannya, program itu dilaksanakan oelh Permkab Boledsari via Tim TP PKK hanya pencitraan saja."

"Okelah Man. Kamu benar. Tetapi kamu juga kurang pas ketika memperlakukan Nyonya Elita sebagai Narsum. Siapapun akan marah ketika ditanya dengan teknik mencecar, kalau sudah keok ya sudah berhenti mencecar. Sebagai istri Bupati, tentu saja beliau tidak berkenan ada anak kecil yang menggurui. Apa lagi wawancaramu itu disorot dan disiarkan oleh TV lokal. Itu yang membuat beliau tak berkenan dan lantas mengadu pada Kabag Humas."

**

Besoknya, aku seperti disidang oleh bos-bos tempat aku bekerja. Di ruangan pemimpin umum ada pemimpin umum, menejer iklan dan komisaris perusahaan.

"Apa boleh buat Dar, kita harus memecat Arman," kata Pak Henry atasanku.

"Hmm.. " Aku mendengarkan sambil membuang pandangan mataku ke arah langit-langit ruang kerja pemimpin umum.

"Sebagai pemimpin umum koran ini, saya harus bisa berdamai dengan pemasang berita berbayar. Apa lagi kita sedang berada dalam kondisi  lesunya pemasangan iklan konvensial seperti iklan baris, pariwara dan iklan lainnya. Pemkab Boledsari adalah salah satu kontributor pemasukan lewat pemasangan berita-berita yang tendensius. Dan juga pembayar kolom-kolom mingguan untuk sosialisasi program-program kerja, dan taripnya adalah rekor termahal. Belum lagi iklan-iklan ucapan-ucapan selamat yang sifatnya temporer maupun musiman yang secara rutin dipasang."

"Setuju," kata Veta sang menejer iklan.

"Dari pada kita kehilangan pengiklan yang strategis. Kita lebih baik pecat saja si Arman yang thengil dan yang sok idealis itu. Pemecatan Arman sangat sesuai dengan garis kebijakan pemilik koran ini yang semata-mata bisnis."

"Setuju," kata Veta lagi.

"Seharusnya kamu sebagai Pemred harus mengeluarkan fungsinya sebagai chiefeditor,  sehingga berita yang semacam itu tidak muncul pada edisi kemaren," kata pemimpin umum.

"Apa bapak sebagai pemimpin umum tidak turut andil atas munculnya berita yang ditulis oleh Arman kemaren itu? Bukankah bapak yang sebetulnya yang paling chiefeditor dibanding saya? Saya tidak akan menyalahkan editor desk ekonomi pertanian, karena saya turut andil munculnya berita itu. Saya rasa tak ada yang salah dengan munculnya berita itu. Arman sudah mewartakan yang sebenarnya. Demikian juga editor desk ekonomi pertanian, dia sudah bekerja sesuai dengan porsinya.

 "Okelah kalau begitu. Kalau Arman dipaksa mengundurkan diri, aku juga mengharapkan dipaksa mengundurkan diri. Asal bapak tahu, koran ini tirasnya memuncaki tiras koran lokal lainnya yang terbit di kota ini karena beritanya sangat faktual dan berimbang. Sangat sesuai dengan kaidah jurnalistik. Karena itu, koran ini banyak pengiklanya. Kenapa bapak takut kehilangan satu pengiklan? Bapak tidak usah takut, bapak tidak usah iklan phobia."

"Tidak Dar, keputusanku sudah bulat."

"Saya sanggup membinanya Pak. Darah mudanya memang butuh mentoring agar bisa bekerjasama dengan tim kita."

"Tidak Dar."

Arman memang akhirnya dipecat secara halus. Dia dipindah ke bagian sirkulasi, bagian yang sama sekali bukan passion-nya. Ketika kuberitahu dipindah ke bagian sirkulasi, di wajahnya tidak terbersit rasa kecewa. Dia hanya cengengesan. Arman langsung mengundurkan diri. Dengan demikian perusahaan tidak perlu repot-repot memberikan pesangon.

Tak kusangka sama sekali, berbarengan dipecatnya Arman dan mundurnya aku, ternyata semua awak redaksi koran BoledsariPos mundur semua. Beberapa hari ini jadi tidak terbit.

Beberapa minggu setalah kami mundur, aku dengar kabar bahwa dalam OPD (Penataan Organisasi Perangkat Daerah) terbaru, Kabag Humas dipromosi jadi Kepala Dinas Hubinfokom. Siapa lagi yang mempromosikan kalau bukan Nyonya Elita?

Semua awak redaksi yang masih sangat muda-muda itu percaya diri, bahwa aku bisa menjadi pendiri koran lokal baru  dengan mencari investor yang idealis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun