Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Durian Pak Hussein

2 November 2020   16:45 Diperbarui: 2 November 2020   19:57 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau mau lihat kebun sawit rakyat, carilah di Malingping, di sana saya dengar ada," pesan Pak Alit, pegawai PTPN VII di Leuwiliang menjelang temaram.

dokpri
dokpri
Udara dingin mulai menerpa pipi saya saat berkendara lagi dengan motor Supra butut saya ke arah barat. Jalannya tidak bisa dikatakan mulus. Tapi dengan hati-hati, saya susuri kaki bukit perlahan dan merayap.
 
Sayangnya saya justru kesasar, lagi-lagi di Kebun PTPN, berakhir dengan cerita mengenai Suku Baduy penggarap kebun sawit di tulisan sebelumnya.
 
Setelah pulang, rasa penasaran masih menggelayut. Hingga saat Mas Jopi dari Tempo memanggil untuk kopdar dan ngobrol. Sambil menanyakan banyak hal soal politik dan kerelawanan, ia menanyakan apa saja aktivitas saat ini.

"Menulis soal petani kecil," jawab saya.

"Wuidih, ke mana?" tanyanya

"Ya keliling Indonesia, pakai motor butut itu," sahut saya menunjuk halaman rumahnya.

"Ga pakai jaket? Pinjam aja jaket saya," katanya sambil geleng-geleng kepala.

Saya menolak, karena saya justru tidak bisa menikmati udara panas. "Lebih enak dingin-dingin, Mas," saya tertawa, dia juga, seisi ruangan itu tertawa.

Pukul 5:00 sore saya memulai perjalanan dari Depok kembali ke arah Malingping. Saya menemukan jalur yang agak lebih cepat dari Rangkasbitung ke pantai di selatan. Lumayan menghemat waktu perjalanan sekitar setengah jam.

dokpri
dokpri
Keesokan harinya, siang hari, dalam keadaan belum mandi, saya menemukan sebuah kebun sawit kecil di Cirenten, menjelang Malingpin. Ada sederetan pohon sawit. Sedikit sekali memang, ciri khas dari perkebunan sawit rakyat. Pohon dan semak yang menyelingi memberikan kesan tidak terawat, berbeda dengan kebun korporat yang biasanya sudah dibabat rapi.

"Itu kebun siapa, Pak?" Tanya saya kepada warga sekitar.

"Oh itu mah punya Pak Hussein!" Jawabnya.

"Terus aja telusurin pohon sawitnya, nanti di ujung itu pohon durian, turun ke bawah. Di situ rumahnya," tambah temannya.

dokpri
dokpri

Saya kemudian mengikuti petunjuk itu. Curam sekali ke bawah. Tapi di bawah saya menemukan hal yang tak lazim. Rumah Pak Hussein ternyata cukup mewah. Atapnya genteng dan lantainya dari keramik berkilat. Saya ketuk pintunya.

"Pak Hussein sedang memanen jengkol. Mau nunggu?" Kata Bu Hussein menyambut saya.

"Boleh bu, sekalian izin menggunakan toilet untuk membasuh badan," jawab saya. Saya baru ingat sudah seharian tidak mandi karena berkendara dari Jakarta.

Usai mandi, kami mengobrol.

"Dari Jakarta? Oh, saya dan suami dulu juga di Priok tinggalnya. Bapak usaha dagang besi tua bekas kapal. Belakangan Bapak beli bibit sawit dan ditanam di kebun dan bangun rumah. Kita memutuskan tinggal di sini saja." ia duduk di kursi rotan yang tidak terlihat murah sama sekali.

Bu Hussein dengan bangga menceritakan bagaimana kebunnya dan suami sebenarnya tidak terlalu bergantung ke sawit. "Durian juga ada. Bapak menanam durian tembaga yang mahal itu. Kalau sudah musim panen, habis diborong Rp 100 ribuan sebuahnya." Ia menunjuk pondok di depan rumah yang tipikal tempat berjualan durian.

"Kalau bapak memang apa saja yang bertemu, ditanam. Dapat bibit merica, ditanam. Dapat nenas, ditanam. Apa saja ditanam," tambahnya lagi.

Setelah mengambil beberapa foto Bu Hussein, saya pamit untuk mengecek kebunnya yang berada di belakang rumah. Bu Hussein mempersilakan.

dokpri
dokpri
Sialnya, saya hanya beralaskan sendal jepit dan celana pendek. Bukan kombinasi yang baik untuk mengarungi lahan yang berbukit-bukit. Akibatnya berkali-kali saya terpeleset dan betis saya terasa gatal luar biasa dirubungi nyamuk.

"Iya, ini kebun saya. Itu di atas ada durian, merica, cokelat, cengkeh, nenas. Selingannya sawit," jelas Pak Hussein yang baru saja saya temui. Ia memegang tangan saya supaya bisa kokoh berjalan.

"Ini semua disengaja, Pak?" Tanya saya memastikan.

"Kalau sawit yang ditanam rakyat memang begitu. Tidak mungkin mereka menunggu sawit 2,5 hingga 3 tahun baru bisa dipanen. Mereka perlu penghasilan sementara sawitnya berkembang. Maka diselingi dengan yang lain." Jawabnya.

dokpri
dokpri
Kami terus berjalan ke belakang kebun Pak Hussein, di seberang sawah yang juga miliknya. Semakin jelas pola tumpang sari yang ia terapkan.

"Ini Bapak selang-seling dengan pisang ya?" Tanya saya kagum.

"Iya. Sekalian ada jengkol, temulawak, dan durian. Sebelum sawit mulai berbuah, saya sudah memetik banyak panen. Begitu sawit berbuah, otomatis tanaman kecil mati sendiri karena tidak dapat cahaya. Tapi masih sisa durian dan jengkol yang akan makin rajin berbuah karena kebagian pupuk dan kehilangan saingan." Pak Hussein memaparkan strateginya.

dokpri
dokpri
"Untuk makan sehari-hari, sawah di bawah cukuplah. Sekali panen bisa 500 kg sampai 1 ton." Ia menunjuk ke bagian bawah.

"Tidak takut sawitnya jadi berebut nutrisi tanah dan air dengan yang lain, Pak?" Saya masih meragukan keterangannya.

"Oh jelas tidak. Buktinya lihat sendiri kan? Itu sawit saya baru dua setengah tahun pun sudah mulai berbuah pasir." Buah pasir maksudnya buah pertama yang masih kecil dan belum layak dijual. Normalnya buah pasir sawit baru muncul di tahun ketiga.

dokpri
dokpri
"Kamu juga bisa lihat, mata air di bawah lancar-lancar saja. Kalau sawit katanya rakus air, masa iya saya masih bisa panen padi di bawah," katanya terkekeh. Air pegunungan mengalir bersih di pipa bambu yang dibangun Pak Hussein puluhan meter jauhnya, sambung-menyambung.

"Kamu mau coba jengkolnya? Bawa pulang, ya! Berapa harga jengkol di Jakarta sekarang?" Tanyanya sambil membelah jengkol yang masih muda.

"Bisa lebih mahal dari daging sapi kalau sedang langka, Pak..hahaha," jawab saya.

dokpri
dokpri
"Ini kamu bawa saja. Kalau mau bayar Rp 30 ribu saja sekilo. Ga bayar juga ga apa-apa," saya memilih membayarnya karena bagaimanapun hidup Pak Hussein juga bergantung kepada panen jengkol.

Menjelang sore, Pak Hussein mengajak saya kembali ke rumahnya. Sambil mengupas jengkol bersama anak dan istri, ia bercerita lebih lengkap lagi mengenai seluruh kebunnya.

dokpri
dokpri
"Nanti kalau sudah tidak panas, saya ajak ke kebun satu lagi yang 1,5 hektaran. Di sana saya tanam ratusan batang. Sudah sering panen," janji Pak.Hussein.

"Berapa banyak panennya, Pak?" Saya menyelidik.

"Tergantung kondisinya. Kalau sedang apes, sesedikit-dikitnya dapat dua ton. Kalau sedang bagus, bisa sampai enam ton. Itu juga belum semua berbuah bagus," jawabnya

dokpri
dokpri
"Ya alhamdulillah bisa dicukup-cukupin untuk makan keluarga, kuliah anak, sekalian benerin rumah," Bu Hussein tersenyum.

"Tiga dari empat anak saya sudah kuliah dan kerja, tinggal si bungsu sebentar lagi lulus dari jurusan pertanian. Dia punya cita-cita mengganti sebagian pohon sawit ini dengan durian, katanya," kata Pak Hussein saat mengantar ke kebun besarnya. Itu berarti sistem tumpangsari yang diterapkan di kebun ini akan makin jelas, bukan hanya acak di beberapa titik, tapi disengaja dan berselang seling. Kebun itu rimbun dan hijau sekali.

dokpri
dokpri

"Yang itu namanya harendong. Untuk membungkus ikan sesudah dimasak," jelas Pak Hussein saat saya sibakkan belukar berdaun lebar. Tak ada satupun tanaman yang tumbuh di sini yang tak ada manfaatnya.

Saat mentari mulai mendekati cakrawala, saya berpamitan. Pak Hussein menyelipkan jengkol muda yang tadi saya beli. "Jengkol ini enak dilalap, tidak keras dan bau. Rasanya manis. Makan saja nanti sebagai tambahan sayur kalau makan di tepi jalan," pesannya.

dokpri
dokpri
Saya beranjak dari Kebun Pak Hussein dengan perasaan lega. Akhirnya dapat juga kesaksian dari petani sawit kecil. Namun dari apa yang saya lihat dari kebun PTPN VIII sekalipun, keinginan menjadi lebih sustainable dengan teknik tumpang sari memang mendarah daging di dalam tubuh petani kecil Indonesia

Tinggal bagaimana cara kita memahami dan mengarahkannya agar jadi produktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun