"Kalau mau lihat kebun sawit rakyat, carilah di Malingping, di sana saya dengar ada," pesan Pak Alit, pegawai PTPN VII di Leuwiliang menjelang temaram.
Â
Sayangnya saya justru kesasar, lagi-lagi di Kebun PTPN, berakhir dengan cerita mengenai Suku Baduy penggarap kebun sawit di tulisan sebelumnya.
Â
Setelah pulang, rasa penasaran masih menggelayut. Hingga saat Mas Jopi dari Tempo memanggil untuk kopdar dan ngobrol. Sambil menanyakan banyak hal soal politik dan kerelawanan, ia menanyakan apa saja aktivitas saat ini.
"Menulis soal petani kecil," jawab saya.
"Wuidih, ke mana?" tanyanya
"Ya keliling Indonesia, pakai motor butut itu," sahut saya menunjuk halaman rumahnya.
"Ga pakai jaket? Pinjam aja jaket saya," katanya sambil geleng-geleng kepala.
Saya menolak, karena saya justru tidak bisa menikmati udara panas. "Lebih enak dingin-dingin, Mas," saya tertawa, dia juga, seisi ruangan itu tertawa.
Pukul 5:00 sore saya memulai perjalanan dari Depok kembali ke arah Malingping. Saya menemukan jalur yang agak lebih cepat dari Rangkasbitung ke pantai di selatan. Lumayan menghemat waktu perjalanan sekitar setengah jam.
"Itu kebun siapa, Pak?" Tanya saya kepada warga sekitar.
"Oh itu mah punya Pak Hussein!" Jawabnya.
"Terus aja telusurin pohon sawitnya, nanti di ujung itu pohon durian, turun ke bawah. Di situ rumahnya," tambah temannya.
Saya kemudian mengikuti petunjuk itu. Curam sekali ke bawah. Tapi di bawah saya menemukan hal yang tak lazim. Rumah Pak Hussein ternyata cukup mewah. Atapnya genteng dan lantainya dari keramik berkilat. Saya ketuk pintunya.
"Pak Hussein sedang memanen jengkol. Mau nunggu?" Kata Bu Hussein menyambut saya.
"Boleh bu, sekalian izin menggunakan toilet untuk membasuh badan," jawab saya. Saya baru ingat sudah seharian tidak mandi karena berkendara dari Jakarta.
Usai mandi, kami mengobrol.
"Dari Jakarta? Oh, saya dan suami dulu juga di Priok tinggalnya. Bapak usaha dagang besi tua bekas kapal. Belakangan Bapak beli bibit sawit dan ditanam di kebun dan bangun rumah. Kita memutuskan tinggal di sini saja." ia duduk di kursi rotan yang tidak terlihat murah sama sekali.
Bu Hussein dengan bangga menceritakan bagaimana kebunnya dan suami sebenarnya tidak terlalu bergantung ke sawit. "Durian juga ada. Bapak menanam durian tembaga yang mahal itu. Kalau sudah musim panen, habis diborong Rp 100 ribuan sebuahnya." Ia menunjuk pondok di depan rumah yang tipikal tempat berjualan durian.
"Kalau bapak memang apa saja yang bertemu, ditanam. Dapat bibit merica, ditanam. Dapat nenas, ditanam. Apa saja ditanam," tambahnya lagi.
Setelah mengambil beberapa foto Bu Hussein, saya pamit untuk mengecek kebunnya yang berada di belakang rumah. Bu Hussein mempersilakan.
"Iya, ini kebun saya. Itu di atas ada durian, merica, cokelat, cengkeh, nenas. Selingannya sawit," jelas Pak Hussein yang baru saja saya temui. Ia memegang tangan saya supaya bisa kokoh berjalan.
"Ini semua disengaja, Pak?" Tanya saya memastikan.
"Kalau sawit yang ditanam rakyat memang begitu. Tidak mungkin mereka menunggu sawit 2,5 hingga 3 tahun baru bisa dipanen. Mereka perlu penghasilan sementara sawitnya berkembang. Maka diselingi dengan yang lain." Jawabnya.
"Ini Bapak selang-seling dengan pisang ya?" Tanya saya kagum.
"Iya. Sekalian ada jengkol, temulawak, dan durian. Sebelum sawit mulai berbuah, saya sudah memetik banyak panen. Begitu sawit berbuah, otomatis tanaman kecil mati sendiri karena tidak dapat cahaya. Tapi masih sisa durian dan jengkol yang akan makin rajin berbuah karena kebagian pupuk dan kehilangan saingan." Pak Hussein memaparkan strateginya.
"Tidak takut sawitnya jadi berebut nutrisi tanah dan air dengan yang lain, Pak?" Saya masih meragukan keterangannya.
"Oh jelas tidak. Buktinya lihat sendiri kan? Itu sawit saya baru dua setengah tahun pun sudah mulai berbuah pasir." Buah pasir maksudnya buah pertama yang masih kecil dan belum layak dijual. Normalnya buah pasir sawit baru muncul di tahun ketiga.
"Kamu mau coba jengkolnya? Bawa pulang, ya! Berapa harga jengkol di Jakarta sekarang?" Tanyanya sambil membelah jengkol yang masih muda.
"Bisa lebih mahal dari daging sapi kalau sedang langka, Pak..hahaha," jawab saya.
Menjelang sore, Pak Hussein mengajak saya kembali ke rumahnya. Sambil mengupas jengkol bersama anak dan istri, ia bercerita lebih lengkap lagi mengenai seluruh kebunnya.
"Berapa banyak panennya, Pak?" Saya menyelidik.
"Tergantung kondisinya. Kalau sedang apes, sesedikit-dikitnya dapat dua ton. Kalau sedang bagus, bisa sampai enam ton. Itu juga belum semua berbuah bagus," jawabnya
"Tiga dari empat anak saya sudah kuliah dan kerja, tinggal si bungsu sebentar lagi lulus dari jurusan pertanian. Dia punya cita-cita mengganti sebagian pohon sawit ini dengan durian, katanya," kata Pak Hussein saat mengantar ke kebun besarnya. Itu berarti sistem tumpangsari yang diterapkan di kebun ini akan makin jelas, bukan hanya acak di beberapa titik, tapi disengaja dan berselang seling. Kebun itu rimbun dan hijau sekali.
"Yang itu namanya harendong. Untuk membungkus ikan sesudah dimasak," jelas Pak Hussein saat saya sibakkan belukar berdaun lebar. Tak ada satupun tanaman yang tumbuh di sini yang tak ada manfaatnya.
Saat mentari mulai mendekati cakrawala, saya berpamitan. Pak Hussein menyelipkan jengkol muda yang tadi saya beli. "Jengkol ini enak dilalap, tidak keras dan bau. Rasanya manis. Makan saja nanti sebagai tambahan sayur kalau makan di tepi jalan," pesannya.
Tinggal bagaimana cara kita memahami dan mengarahkannya agar jadi produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H