Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Embracing Failure di Ketinggian 2200 Meter Gunung Gede

28 Agustus 2019   07:54 Diperbarui: 28 Agustus 2019   08:17 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa itu?" Tanya saya.

"Kram, sama kaya mas. Tapi saya memaksakan, akhirnya sampai berkali-kali dan sampai di puncak." Lanjutnya. "Dan akhirnya di atas saya lumpuh. Terpaksa memanggil evakuasi dan digotong sampai bawah. Dua belas jam, Hahahaha," Dia tertawa-tawa.

"Wuih kok sekarang sudah bisa mendaki lagi? Sampai berapa bulan itu pemulihannya?" Tanya saya takjub. "Ga sampai, dua minggu lah ga bisa jalan," Jawabnya masih dalam kondisi tertawa, mungkin menertawakan kebodohannya saat muda.

Dokpri
Dokpri
Pukul 10:00 pagi, saya turun. Kali ini tidak ada halangan berarti selain kerikil-kerikil kecil dan remah tanah lembut yang beberapa kali membuat terpeleset. 

Sesekali saya menyapa anak-anak muda yang naik. Memang biasanya dan sebaiknya mendaki gunung ini dalam rombongan besar. 

Selain saling menjaga, juga saling menyemangati. Mereka selalu heran melihat saya turun sendirian, "Sendirian Mas?" atau "Nanti pulang ke mana?" adalah dua pertanyaan berulang-ulang yang harus saya jawab sambil melihat kening mereka berkerut.

Saya sendiri cukup kagum dengan ketahanan tubuh sendiri, bisa mendaki sampai setinggi dan sejauh itu. Padahal dari segi umur bisa dibilang tidak muda lagi dan baru kali ini sekali-kalinya mendaki gunung benaran. Karena kondisinya menuruni lereng bukit, waktu perjalanan jadi lebih singkat. 

Hanya saja yang cukup menyebalkan adalah kerikil kecil yang menyelinap masuk ke sepatu. Saat menurun, semuanya berkumpul di ujung jari dan terasa menyentak-nyentak. Perih.. saya sampai harus berkali-kali berhenti untuk membuang isi sepatu.

Tak lama saya sampai di pos tiga. Lumayan, di sana ada pedagang yang baru saja buka. Awalnya dari kejauhan saya pikir tenda biru yang ada sedang diserbu babi hutan. 

Saat saya lempar dengan batu, ternyata yang ada di dalamnya manusia. Si Bapak penjual tertawa mendengar saya menyangka dirinya babi hutan. 

"Atu lah saya pikir tadi teman saya iseng lempar-lempar tenda dari jauh. Hahaha." Dia menawarkan minuman hangat. Saya memesan segelas. Di sini harganya cukup kompak dengan warung bayangan di Tanah Merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun