Mohon tunggu...
hardy baslon
hardy baslon Mohon Tunggu... Freelancer - Telling the truth is a revolutionary act - Proletar Bebas

writing a reason is a powerful way to make your mind free - menulisnalar.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wacana Pemekaran DOB dan Kegelisahan Orang Papua

10 Maret 2022   08:10 Diperbarui: 10 Maret 2022   08:34 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Logika kapitalisme selalu bergerak dari keinginan untuk memenuhi kekurangan dan memberi hidup kepada semua hal yang tampak ‘mati’. Melalui sejumlah tawaran untuk meningkatkan perekonomian negara maupun penyediaan lapangan pekerjaan dari para pemilik modal untuk semua rakyat yang membutuhkan pekerjaan, pemerintah bersama rakyat yang kurang kritis mulai tergiur dan menyambutnya dengan penuh harapan.

Dalam analisisnya, Richard Robison menunjukkan bahwa pada periode Orde Baru, kelompok pemilik modal (pebisnis) yang kuat biasanya lahir karena mendapat perlindungan dari negara. Selanjutnya, di era reformasi, kita menemukan suatu titik balik, di mana para pengusaha kaya mulai memasuki panggung politik sebagai pemimpin partai politik maupun menteri. Negara bukan sekadar alat bagi borjuis, melainkan borjuis juga menjadi penentu kebjiakan negara. 

Menurutnya, mungkin pekerjaan utama negara Indonesia sejak 1949 adalah menyediakan kondisi untuk akumulasi modal, sehingga para kapitalis mengalami kebangkitan dari masa ke masa. Dengan demikian, Robison menegaskan bahwa perkembangan negara tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme di Indonesia, di mana  negara yang menggandeng modal kaum kapitalis menjadi faktor penting dalam membentuk Indonesia sampai dengan saat ini (Robison, 1986: x dalam Aspinall, 2013). 

Sebagai contoh konkret masa kini, – segera setelah KPU mengumumkan Jokowi-Ma’aruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024 – Jokowi di dalam pidato kenegaraannya di Sentul Convention Center, Bogor pada 14 Juli 2019 yang lalu memaparkan lima poin yang akan menjadi fokus pemerintahannya. Melalui pidato yang bertajuk “Visi Indonesia” itu, Jokowi berkomitmen untuk melaksanakan: melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, memangkas semua hal yang menghambat investasi, reformasi birokrasi, dan pembangunan APBN yang tepat sasaran selama masa jabatannya selama lima tahun ke depan (Kompas.com, 16/7/2019).

Berdasarkan isi pernyataan Jokowi tersebut, dapat saya katakana bahwa negara bersama aparatusnya saat ini sangat dekat dan cinta akan sistem maupun strategi kerja kapitalisme yang selalu menjanjikan pemerataan pembangunan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks pemekaran DOB PPS, para pemilik modal di kalangan swasta maupun dari dalam tubuh elit politik itu sendiri akan saling bergotong-royong untuk berinvestasi di lahan subur yang baru demi peningkatan modal. Pemekaran PPS adalah peluang kebangkitan modal di balik usaha ‘pemerataan pembangunan’ dengan klaim bahwa upaya tersebut bersesuaian dengan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 1970-an menyertai kelahiran kelas kapitalis baru, di mana sektor swasta hadir dan berperan sebagai penyelamat negara-bangsa di tengah lilitan krisis ekonomi maupun utang luar negeri.  Hal inilah yang mendorong para elit politik, pemilik modal (pebisnis), dan kaum intelektual yang pro kapitalis maju ke depan untuk mengadvokasi sistem dan ideologi ekonomi politik yang berorientasi pada pasar. Dengan demikian, hegemoni dan dominasi ekonomi kaum kapitalis semakin menguat karena negara turut hadir secara politis dan ideologis untuk menciptakan dan mengakomodasi situasi dan ruang investasi modal yang aman bagi para kapitalis.

Akibatnya, mereka semakin leluasa untuk melakukan eksploitasi tenaga kerja maupun kekayaan alam yang terkandung di dalam ‘rahim’ Bumi Cenderawasih. Penting untuk dicatat bahwa bagaimanapun juga perkembangan kelas kapitalis baru yang turut bermain di ruang lingkup sosio-politik dan budaya tidak pernah ramah terhadap alam dan manusia sebagai penghuninya (Shin, 1991). Mereka tampil seperti pahlawan yang berpanjikan pejuang kemanusiaan, tetapi dalam praktiknya, mereka adalah subjek utama yang berkontribusi dalam hal dehumanisasi.

Sebagaimana banyaknya lontaran kritik dari kalangan masyarakat lokal di Tanah Papua, pemekaran DOB di Papua tidak menjawab kebutuhan rakyat Papua di tengah kompleksitas persoalan yang terus menumpuk. Wacana tersebut dinilai banyak pihak berpotensi melahirkan persoalan baru, seperti terdegradasinya nilai-nilai budaya masyarakat adat karena mereka selalu digiring dan dibentuk menjadi masyarakat yang konsumtif. Selain itu, bisa terjadi marginalisasi masyarakat adat Papua di wilayah selatan yang dapat menyebabkan konflik horizontal ketika OAP merasa hak-hak hidupnya telah dirampas oleh warga non-Papua yang semakin menjamur di seluruh wilayah Tanah Papua.

Pemekaran DOB dapat dikatakan sebagai  usaha para elit politik lokal dan nasional untuk membuka pintu masuk bagi para investor yang ingin mengeksploitasi SDA Papua; mengingat Papua sangat potensial menjadi lahan bisnis perikanan, persawahan, perkebunan dan tambang emas; termasuk pariwisata cagar alam dan budaya. Menambah DOB di Papua sama halnya dengan menambah deretan persoalan yang berkaitan dengan kegagalan memanfaatkan dana tonomi khusus untuk pembangunan di Papua; termasuk militerisme yang selalu menjadi momok bangsa Papua sampai dengan saat ini.

Melihat dan Berpikir Secara Kritis

Dari sejumlah paparan pernyataan sikap, kritik, dan analisis yang telah diuraikan pada beberapa bagian tulisan ini, kita lantas bertanya: usaha macam apa yang perlu dilakukan untuk meredam atau menghalau semua tanda-tanda buruk tersebut? Apakah kita harus mengakui dan membenarkan pernyataan Robinson bahwa kekuatan revolusioner yang sedang bekerja saat ini bukanlah komunisme dan sosialisme, melainkan kapitalisme?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun