Mohon tunggu...
hardy baslon
hardy baslon Mohon Tunggu... Freelancer - Telling the truth is a revolutionary act - Proletar Bebas

writing a reason is a powerful way to make your mind free - menulisnalar.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wacana Pemekaran DOB dan Kegelisahan Orang Papua

10 Maret 2022   08:10 Diperbarui: 10 Maret 2022   08:34 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com Pemekaran Wilayah di Papua, Antara Solusi dan Masalah 

DOB: Dari Siapa, Untuk Siapa?

Pasca mencuatnya gejolak di Bumi Cenderawasih terkait kasus persekusi dan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya pada pertengahan Agustus 2019 yang lalu, samapai hari ini media massa di tingkat lokal maupun nasional kembali ramai membincangkan Papua. Publik Papua maupun di luar Papua disodorkan sebuah polemik lain tentang wacana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). VOA-Indonesia pada 6 November 2019 mengekspos sejumlah perdebatan para politisi dan pegiat kemanusiaan tentang pro kontra pemekaran Provinsi Papua Selatan.

Di dalam berita tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menyatakan bahwa wacana pemekaran di Papua merupakan permintaan masyarakat Papua saat betemu dengan Presiden Joko Widodo. Mahfud mengklaim bahwa pemerintah dan DPR satu suara soal pemekaran wilayah di Papua. Bahkan ia menuding orang-orang yang tidak setuju dengan rencana pemekaran tersebut adalah orang-orang yang ingin Papua merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika pernyataan Mahfud tersebut dirunut kembali, kita akan sampai pada sebuah peristiwa, di mana pada 10 September 2019, 61 orang yang mengklaim diri sebagai Tokoh Papua bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, dan menyampaikan 9 poin aspirasinya tanpa menyinggung sedikit pun berbagai tuntutan rakyat Papua yang berhubungan dengan persoalan rasisme sebulan yang lalu.[1]

Menanggapi wacana pemekaran tersebut, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib mengatakan pihaknya belum menerima aspirasi dari masyarakat Papua terkait rencana pemekaran wilayah. Padahal, menurutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pemekaran wilayah di Papua harus mendapat persetujuan dari MRP. Murib menyatakan bahwa MRP punya komitmen dan dukungan terhadap rencana tersebut, tetapi semua hal yang diwacanakan harus berdasarkan tahapan dan aturan yang berlaku.

Sementara itu, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonstraS) Papua, Sam Awom mempertanyakan munculnya wacana pemekaran wilayah dalam pertemuan antara sekelompok tokoh Papua dan Jokowi pada September lalu. Sebab, menurutnya pertemuan tersebut seharunya membahas aksi unjuk rasa yang meluas di Papua, bukan pemekaran wilayah. Rakyat lebih menginginkan adanya penegakan hukum dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM maupun persoalan pembangunan yang belum tuntas di Papua. Awon juga khawatir kalau beberapa DOB jadi dimekarkan akan menimbulkan konflik horizontal di wilayah setempat, dan semakin meminggirkan penduduk lokal Papua (VOA, 6/11/2019).

Di kesempatan berbeda, dalam sebuah pertemuan yang difasilitasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke untuk membahas tindak lanjut dari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tentang pembentukan DOB PPS, Harry Ndiken, seorang tokoh intelektual suku Marind juga menyatakan sikap kritisnya. Ndiken mempertanyakan berbagai klaim yang menyatakan bahwa wacana pemekaran adalah permintaan rakyat. “… saya mau tanya, rakyat mana yang meminta pemekaran? Coba sebutkan. Jangan sampai setelah pemekaran, kehidupan Orang Asli Papua (OAP) menjadi lebih sengsara. …mengimpor banyak non-Papua dari luar daerah. …bagaimana dengan OAP?” (tabloidjubi.com, 8/11/2019).

Menanggapi berbagai kontroversi tersebut, John Gluba Gebze, mantan Bupati Kabupaten Merauke dua periode 2000-2010, angkat bicara. Menurut Gluba Gebze, pandangan orang-orang tentang restu atas rencana pembentukan PPS sebagai hasil dari pertemuan 61 Tokoh Papua dengan Presiden Jokowi adalah tidak benar. PPS bukan merupakan produk instan dari keterpaksaan politik negara, melainkan hasil perjuangan dan penantian panjang selama 17 tahun sejak 2002 hingga 2009. Ia kembali menegaskan bahwa rencana PPS telah mengikuti alur prosedural, dan sudah dua kali PPS mendapatkan amanat Presiden (Ampres); termasuk rekomendasi dari DPRP maupun MRP sejak Barnabas Suebu masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi Papua.

Baginya, tujuan dari pemekaran adalah untuk kebaikan seluruh rakyat sehingga diharapkan tidak seorang pun menghalangi niat baik dan aspirasi rakyat papua Selatan yang ingin mengatur dirinya sendiri dalam semangat kebersamaan sebagai warga negara Indonesia. Jadi, dalam hal ini, wacana pemekaran DOB PPS tidak ada hubungannya dengan usaha menutupi persoalan rasisme yang menimpah rakyat Papua maupun hasil dialog 61 Tokoh Papua dengan Presiden Jokowi (tabloidjubi.com, 8/11/2019).

Dengan membaca dinamika perdebatan yang diuraikan di atas, kita sampai pada beberapa  pertanyaan krusial. Apa urgensi dari wacana pemekaran DOB bagi pemerintah (daerah maupun pusat) dan rakyat Papua di tengah kompleksitas persoalan Papua yang sampai hari ini belum menemukan titik penyelesaian? Mengapa pemekaran sebuah wilayah pemerintahan selalu dikaitkan dengan term ‘pemerataan pembangunan’? Apakah upaya tersebut benar-benar berdasarkan asas manfaat dengan mempertimbangkan untung-ruginya bagi manusia dan alam Papua, atau ada kepentingan terselubung di baliknya? Jika pemekaran adalah bagian dari klaim pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan, siapakah  yang sesungguhnya akan diuntungkan dan dirugikan?

Pemekaran Sebagai Upaya ‘Pemerataan Pembangunan’

Pemekaran sebuah wilayah pemerintahan selalu berpijak pada klaim tentang usaha melakukan pemerataan pembangunan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila yang menyaratkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan merujuk pada sejumlah fenomena yang dipandang ‘kurang’, ‘tradisonal’ atau ‘belum maju’ dan tidak modern’, serta tingginya angka kemiskinan maupun pengangguran; pemerintah berupaya menyusun berbagai bentuk kebijakannya untuk melakukan proyek ‘pembangunan.

Selain itu, pemekaran juga dibingkai dalam upaya desentralisasi untuk mengalihkan wewenang dari pusat ke daerah agar rakyat semakin dekat dengan kekuasaan, dan rakyat semakin mudah untuk dikontrol maupun dibentuk sebagai warga negara yang patuh dan tunduk pada pemerintah. Dengan demikian, konsolidasi lembaga-lembaga negara dapat berjalan kompak di bawah satu kendali, yaitu pemerintah pusat untuk menangkal berbagai isu  yang mengarah kepada polarisasi yang mengancam keutuhan NKRI. Pada titik ini, sistem politik yang dianggap paling demokratis tersebut turut mengecilkan peran agensi kelas bawah yang ingin melawan berbagai bentuk ketimpangan sosial yang dihadapinya.

Sebagai sesuatu yang dainggap baik, penting, mulia dan tentu saja punya daya pikat, pembangunan telah memiliki citra baru sejak dalam tahap wacana maupun praktik dan hasilnya sepanjang sejarah berdirinya Indonesia. Sebagaimana rekaman fakta pembangunan di sejumlah negara lain, pembangunan di Indonesia selalu diakitkan dengan konsep ‘modernisasi’. Dengan demikian, Dalam praktiknya, pembangunan tidak hanya beroperasi untuk ‘memperbaiki’ kehidupan masyarakat, tetapi juga menentang, menolak, dan bahkan memberantas – baik dalam skala kecil maupun besar – apa pun yang dianggap ‘tradisional’ atau anti-modernisasi.

Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang ‘maju’, di dalam proses pembangunan ada kandungan hak khusus dan legitimasi yang diberikan secara khusus kepada mereka yang dianggap memiliki kompetensi dalam hal merencanakan, mengendalikan, dan melaksanakan paham-paham pembangunan. Sejatinya, pembangunan adalah karya teknik sejumlah spesialis, ahli maupun  teknokrat yang telah diberikan hak khusus untuk merencanakan dan menentukan arah dan jalur pembangunan untuk rakyat secara umum. Dan tentu saja mereka pula yang akan menikmati hasil dari pembangunan itu sendiri (Heryanto, 1988).

Berbeda dengan term ‘perkembangan’[2] yang mengacu pada prose salami, pembangunan selalu berhubungan dengan infrastruktur, ekonomi, politik, budaya dan bahkan manusia. Di dalam proses pembangunan terjadi perekrutan besar-besaran (mobilisasi massa) dalam hal ketenagakerjaan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat. Untuk mendapatkan legitimasi sekaligus diterima oleh publik, pembangunan dalam wacana dan praktiknya perlu dijelaskan dengan bahasa yang positif dan menarik perhatian. Misalnya, pembangunan melibatkan ‘partisipasi’ masyarakat dan ‘berpihak’ pada ‘kepentingan masyarakat’, pembangunan adalah bagian dari ‘gotong royong’ atau ‘swadaya’ seluruh elemen masyarakat menuju taraf hidup yang lebih baik lagi, atau berbagai permaianan bahasa hegemonik lainnya demi mendapat restu dan pengakuan publik.

Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa permainan dinamikan bahasa tersebut berbanding terbalik dengan realitas yang tampak. Pembangunan yang partisipatif justru tidak diimbangi dengan perolehan hak yang merata dalam hal menikmati hasil maupun kesempatan untuk turut ambil bagian dalam mengendalikan seluruh proses pembangunan yang diklaim sebagai ‘kerja sama timbale balik’ tersebut. Memang ada sejumlah tuntutan untuk pemerataan dan keseimbangan hak telah dilakukan ketika ada ketidak-adilan pembangunan, tetapi selalu ada cara efektif untuk menangkal berbagai bentuk tuntutan dari masyarakat. Setiap tuntutan sering ditanggapi secara timpang dengan dalih bahwa tuntutan tersebut mengandung hal-hal kontras yang berpotensi mengancam stabilitas dan keamanan nasional,[3] atau dengan bahasa yang lebih halus: ‘ini adalah negara yang masih dalam proses pembangunan, jadi segala bentuk kekurangan mutlak perlu untuk dimaklumi (Heryanto, 1988). 

Bahasa ‘pembangunan’ di Indonesia selalu diibaratkan dengan ‘membangun rumah sendiri’ agar tampak moderen seperti sejumlah bangunan fisik di berbagai kawasan metropolitan. Para pengamat dan ahli pembangunan maupun politikus menyatakan bahwa sampai dengan saat ini, program pembangunan di Indonesia difokuskan terutama pada peningkatan infrastruktur untuk industrialisasi dan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Atas nama pemerataan pembangunan, pemerintah menggenjot berbagai model pembangunan seperti kantor, pabrik, sekolah, maupun gedung-gedung pencakar langit, jalan raya, pasar, taman bermain, hutan konservasi, sistem telekomunikasi dan informasi, dan tak lupa persenjataan militer beserta pasukannya demi menjamin kebutuhan hidup rakyatnya beserta ketertiban umum yang cenderung represif. Semua hal itu diadakan dalam rangka mengisi apa yang kosong atau belum dimiliki oleh wilayah yang ingin dibangun agar tampak sama majunya dengan wilayah lain yang dianggap sudah moderen. Dalam hal ini, ada pihak tertentu (pemerintah beserta konglomeratnya) menjadi pemegang kendali atau punya otoritas untuk merencanakan dan mengendalikan seluruh dinamika pembangunan di tingkat lokal maupun nasional.    

Dalam beberapa dekade terakhir, sebagaian besar bangsa Indonesia telah terjebak dengan term ‘pembangunan’ dan menganggapnya sebagai proses alamiah. Ibarat matahari yang selalu terbit di timur dan menawarkan daya hidup, pembangunan tampaknya tidak terhindarkan. Pembangunan memiliki kekuatan hegemoni yang luar biasa dan punya daya tipu yang jarang ditangkap oleh kesadaran jutaan manusia di abad ini karena terlalu terbuai dengan janji-janji manis beserta tawaran kenikmatan yang justru tak pernah menuai kenyataan.

Pada titik inilah, kapitalisme bermain peran untuk beradaptasi dengan pola demokrasi yang ada, dan mengisi atau memenuhi apa yang dibutuhkan di dalam pembangunan serta menyerap dan mengakamodasi para elit politik lokal maupun nasional sebagai partner kerja dan penjamin penguatan maupun kestabilan ekonomi pembangunan di tingkat daerah dan nasional.  

Pemekaran dan Peluang Kebangkitan Modal: Strategi Ekonomi Politik

Logika kapitalisme selalu bergerak dari keinginan untuk memenuhi kekurangan dan memberi hidup kepada semua hal yang tampak ‘mati’. Melalui sejumlah tawaran untuk meningkatkan perekonomian negara maupun penyediaan lapangan pekerjaan dari para pemilik modal untuk semua rakyat yang membutuhkan pekerjaan, pemerintah bersama rakyat yang kurang kritis mulai tergiur dan menyambutnya dengan penuh harapan.

Dalam analisisnya, Richard Robison menunjukkan bahwa pada periode Orde Baru, kelompok pemilik modal (pebisnis) yang kuat biasanya lahir karena mendapat perlindungan dari negara. Selanjutnya, di era reformasi, kita menemukan suatu titik balik, di mana para pengusaha kaya mulai memasuki panggung politik sebagai pemimpin partai politik maupun menteri. Negara bukan sekadar alat bagi borjuis, melainkan borjuis juga menjadi penentu kebjiakan negara. 

Menurutnya, mungkin pekerjaan utama negara Indonesia sejak 1949 adalah menyediakan kondisi untuk akumulasi modal, sehingga para kapitalis mengalami kebangkitan dari masa ke masa. Dengan demikian, Robison menegaskan bahwa perkembangan negara tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme di Indonesia, di mana  negara yang menggandeng modal kaum kapitalis menjadi faktor penting dalam membentuk Indonesia sampai dengan saat ini (Robison, 1986: x dalam Aspinall, 2013). 

Sebagai contoh konkret masa kini, – segera setelah KPU mengumumkan Jokowi-Ma’aruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024 – Jokowi di dalam pidato kenegaraannya di Sentul Convention Center, Bogor pada 14 Juli 2019 yang lalu memaparkan lima poin yang akan menjadi fokus pemerintahannya. Melalui pidato yang bertajuk “Visi Indonesia” itu, Jokowi berkomitmen untuk melaksanakan: melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, memangkas semua hal yang menghambat investasi, reformasi birokrasi, dan pembangunan APBN yang tepat sasaran selama masa jabatannya selama lima tahun ke depan (Kompas.com, 16/7/2019).

Berdasarkan isi pernyataan Jokowi tersebut, dapat saya katakana bahwa negara bersama aparatusnya saat ini sangat dekat dan cinta akan sistem maupun strategi kerja kapitalisme yang selalu menjanjikan pemerataan pembangunan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks pemekaran DOB PPS, para pemilik modal di kalangan swasta maupun dari dalam tubuh elit politik itu sendiri akan saling bergotong-royong untuk berinvestasi di lahan subur yang baru demi peningkatan modal. Pemekaran PPS adalah peluang kebangkitan modal di balik usaha ‘pemerataan pembangunan’ dengan klaim bahwa upaya tersebut bersesuaian dengan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 1970-an menyertai kelahiran kelas kapitalis baru, di mana sektor swasta hadir dan berperan sebagai penyelamat negara-bangsa di tengah lilitan krisis ekonomi maupun utang luar negeri.  Hal inilah yang mendorong para elit politik, pemilik modal (pebisnis), dan kaum intelektual yang pro kapitalis maju ke depan untuk mengadvokasi sistem dan ideologi ekonomi politik yang berorientasi pada pasar. Dengan demikian, hegemoni dan dominasi ekonomi kaum kapitalis semakin menguat karena negara turut hadir secara politis dan ideologis untuk menciptakan dan mengakomodasi situasi dan ruang investasi modal yang aman bagi para kapitalis.

Akibatnya, mereka semakin leluasa untuk melakukan eksploitasi tenaga kerja maupun kekayaan alam yang terkandung di dalam ‘rahim’ Bumi Cenderawasih. Penting untuk dicatat bahwa bagaimanapun juga perkembangan kelas kapitalis baru yang turut bermain di ruang lingkup sosio-politik dan budaya tidak pernah ramah terhadap alam dan manusia sebagai penghuninya (Shin, 1991). Mereka tampil seperti pahlawan yang berpanjikan pejuang kemanusiaan, tetapi dalam praktiknya, mereka adalah subjek utama yang berkontribusi dalam hal dehumanisasi.

Sebagaimana banyaknya lontaran kritik dari kalangan masyarakat lokal di Tanah Papua, pemekaran DOB di Papua tidak menjawab kebutuhan rakyat Papua di tengah kompleksitas persoalan yang terus menumpuk. Wacana tersebut dinilai banyak pihak berpotensi melahirkan persoalan baru, seperti terdegradasinya nilai-nilai budaya masyarakat adat karena mereka selalu digiring dan dibentuk menjadi masyarakat yang konsumtif. Selain itu, bisa terjadi marginalisasi masyarakat adat Papua di wilayah selatan yang dapat menyebabkan konflik horizontal ketika OAP merasa hak-hak hidupnya telah dirampas oleh warga non-Papua yang semakin menjamur di seluruh wilayah Tanah Papua.

Pemekaran DOB dapat dikatakan sebagai  usaha para elit politik lokal dan nasional untuk membuka pintu masuk bagi para investor yang ingin mengeksploitasi SDA Papua; mengingat Papua sangat potensial menjadi lahan bisnis perikanan, persawahan, perkebunan dan tambang emas; termasuk pariwisata cagar alam dan budaya. Menambah DOB di Papua sama halnya dengan menambah deretan persoalan yang berkaitan dengan kegagalan memanfaatkan dana tonomi khusus untuk pembangunan di Papua; termasuk militerisme yang selalu menjadi momok bangsa Papua sampai dengan saat ini.

Melihat dan Berpikir Secara Kritis

Dari sejumlah paparan pernyataan sikap, kritik, dan analisis yang telah diuraikan pada beberapa bagian tulisan ini, kita lantas bertanya: usaha macam apa yang perlu dilakukan untuk meredam atau menghalau semua tanda-tanda buruk tersebut? Apakah kita harus mengakui dan membenarkan pernyataan Robinson bahwa kekuatan revolusioner yang sedang bekerja saat ini bukanlah komunisme dan sosialisme, melainkan kapitalisme?

Hemat saya, kita juga masih memiliki peluang untuk menangkal dehumanisasi di balik giatnya aktivitas kapitalisme; asalkan kita terus melatih diri untuk menalar secara kritis atas berbagai bentuk realitas hidup yang secara kasat mata tampak sebagai hal yang baik-baik saja. Dengan demikian, kita tidak lagi terjebak pada hal-hal sepeleh, dan mampu melampaui apa yang dipandang baik, penting, dan berguna bagi kemanusiaan. Jangan sampai “kita lebih mudah membayangkan akhir dari kehidupan di dunia ini, tetapi kita tidak pernah berpikir tentang akhir dari kapitalisme” – Slavoj Zizek.

Membaca secara kritis wacana pemekaran sebagai usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan adalah cara untuk mewaraskan nalar. Kegagalan mewaraskan nalar akan berakibat pada kegagalan dan kesalahan mempersepsi semua hal yang tampak. Seperti kampanye pembangunan yang tanpa dibaca secara kritis akan terkesan menggiurkan dan punya manfaat tanpa dampak negatifnya. Akan tetapi, ketika kita membacanya secara ktritis, kita akan menemukan banyak kejanggalan dan ketimpangan sosial sebagai akibat dari pembangunan itu sendiri.  Pada akhirnya, melalui tulisan ini, kita sampai pada sebuah pemahaman dan kesadaran baru tentang adanya sisi lain dari kejahatan negara dalam hubungannya dengan akumulasi modal sebagai tujuan dari pembangunan.

Di akhir tulisan ini, saya perlu mengaris-bawahi bahwa saya tidak sedang berpretensi untuk menyatakan diri sebagai orang yang anti-pembangunan, tetapi saya anti terhadap cara kerja pembangunan yang selalu berdampak pada dehumanisasi. Seperti kata Ariel Heryanto dalam ‘The Development of “Development” (1988), ‘pembangunan’ itu bahasa semantik yang mengandung hegemoni dalam hal pemahaman dan praktiknya. Ibarat ungkapan ‘matahari selalu terbit di timur’, yang sudah dianggap sebagai kebenaran tunggal, masyarakat lalu lupa bahwa faktanya adalah bumi yang berotasi.

Kita pada umumnya selalu gagal dalam memahami secara kritis berbagai dinamika bahasa yang biasa dipakai sebagai alasan kemanusiaan. Padahal di balik penggunaan kata itu terkandung sejumlah potensi eksploitasi, marginalisasi, alienasi, subordinasi, dan berbagai ketimpangan sosial lainnya. Semakin kita tidak kritis, semakin besar peluang terjadinya proses dehumanisasi di depan mata kita. Bahkan, tanpa disadari, kita adalah subjek yang turut berkontribusi dalam menindas bahkan mematikan kemanusiaan di balik semua hal yang tampak baik-baik saja.


Referensi

Aspinall, E. (2013) “The Triumph of Capital? Class Politics and Indonesian Democratisation”, Journal of Contemporary Asia.

Heryanto A. (1988) “The Development of ‘Developemnt’”, Indonesia 46.

Shin, Y. H. (1991) “The Role of Elites in Creating Capitalist Hegemony in Post-Oil Boom Indonesia”, Indonesia Special Issue.

Robinson, R. (2009) Indonesia: The Rise of Capital, Equinox Publishing

https://www.voaindonesia.com/a/pro-kontra-pemekaran-wilayah-provinsi-papua-selatan/5154856.html

Rakyat mana yang menginginkan Provinsi Papua Selatan?

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/16/09310881/beberapa-catatan-untuk-pidato-visi-indonesia-jokowi.

[1] Untuk mengetahui 9 isi aspirasi, siapa sajakah 61 tokoh Papua dan hal-hal kontroversial apa saja yang lahir sebagai tanggapan terhadap persitiwa tersebut, silakan akses di Tirto.id (18/9/2019) “Kontroversi 61 Tokoh Papua Bentukan BIN yang Dialog dengan Jokowi” (https://tirto.id/kontroversi-61-tokoh-papua-bentukan-bin-yang-dialog-dengan-jokowi-eifn).

[2] Dalam Kamus Bahasa Inggris tidak ada distingsi antara term ‘pembangunan’ dan ‘perkembangan’. Keduanya diterjemhakan dan dipahami dalam satu term tunggal, yakni ‘development’. Lihat definisi lebih lanjut dari ketiga term tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Oxford Dictionary. 

[3] Bandingkan penyataan Mahfud MD yang menanggapi penolakan rakyat Papua terhadap wacana pemekaran Provinsi Papua selatan sebagai suara orang-orang yang ingin Papua merdeka dari NKRI (lihat hal. 1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun