Mohon tunggu...
hardy baslon
hardy baslon Mohon Tunggu... Freelancer - Telling the truth is a revolutionary act - Proletar Bebas

writing a reason is a powerful way to make your mind free - menulisnalar.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wacana Pemekaran DOB dan Kegelisahan Orang Papua

10 Maret 2022   08:10 Diperbarui: 10 Maret 2022   08:34 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemekaran sebuah wilayah pemerintahan selalu berpijak pada klaim tentang usaha melakukan pemerataan pembangunan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila yang menyaratkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan merujuk pada sejumlah fenomena yang dipandang ‘kurang’, ‘tradisonal’ atau ‘belum maju’ dan tidak modern’, serta tingginya angka kemiskinan maupun pengangguran; pemerintah berupaya menyusun berbagai bentuk kebijakannya untuk melakukan proyek ‘pembangunan.

Selain itu, pemekaran juga dibingkai dalam upaya desentralisasi untuk mengalihkan wewenang dari pusat ke daerah agar rakyat semakin dekat dengan kekuasaan, dan rakyat semakin mudah untuk dikontrol maupun dibentuk sebagai warga negara yang patuh dan tunduk pada pemerintah. Dengan demikian, konsolidasi lembaga-lembaga negara dapat berjalan kompak di bawah satu kendali, yaitu pemerintah pusat untuk menangkal berbagai isu  yang mengarah kepada polarisasi yang mengancam keutuhan NKRI. Pada titik ini, sistem politik yang dianggap paling demokratis tersebut turut mengecilkan peran agensi kelas bawah yang ingin melawan berbagai bentuk ketimpangan sosial yang dihadapinya.

Sebagai sesuatu yang dainggap baik, penting, mulia dan tentu saja punya daya pikat, pembangunan telah memiliki citra baru sejak dalam tahap wacana maupun praktik dan hasilnya sepanjang sejarah berdirinya Indonesia. Sebagaimana rekaman fakta pembangunan di sejumlah negara lain, pembangunan di Indonesia selalu diakitkan dengan konsep ‘modernisasi’. Dengan demikian, Dalam praktiknya, pembangunan tidak hanya beroperasi untuk ‘memperbaiki’ kehidupan masyarakat, tetapi juga menentang, menolak, dan bahkan memberantas – baik dalam skala kecil maupun besar – apa pun yang dianggap ‘tradisional’ atau anti-modernisasi.

Untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang ‘maju’, di dalam proses pembangunan ada kandungan hak khusus dan legitimasi yang diberikan secara khusus kepada mereka yang dianggap memiliki kompetensi dalam hal merencanakan, mengendalikan, dan melaksanakan paham-paham pembangunan. Sejatinya, pembangunan adalah karya teknik sejumlah spesialis, ahli maupun  teknokrat yang telah diberikan hak khusus untuk merencanakan dan menentukan arah dan jalur pembangunan untuk rakyat secara umum. Dan tentu saja mereka pula yang akan menikmati hasil dari pembangunan itu sendiri (Heryanto, 1988).

Berbeda dengan term ‘perkembangan’[2] yang mengacu pada prose salami, pembangunan selalu berhubungan dengan infrastruktur, ekonomi, politik, budaya dan bahkan manusia. Di dalam proses pembangunan terjadi perekrutan besar-besaran (mobilisasi massa) dalam hal ketenagakerjaan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat. Untuk mendapatkan legitimasi sekaligus diterima oleh publik, pembangunan dalam wacana dan praktiknya perlu dijelaskan dengan bahasa yang positif dan menarik perhatian. Misalnya, pembangunan melibatkan ‘partisipasi’ masyarakat dan ‘berpihak’ pada ‘kepentingan masyarakat’, pembangunan adalah bagian dari ‘gotong royong’ atau ‘swadaya’ seluruh elemen masyarakat menuju taraf hidup yang lebih baik lagi, atau berbagai permaianan bahasa hegemonik lainnya demi mendapat restu dan pengakuan publik.

Meskipun demikian, fakta menunjukkan bahwa permainan dinamikan bahasa tersebut berbanding terbalik dengan realitas yang tampak. Pembangunan yang partisipatif justru tidak diimbangi dengan perolehan hak yang merata dalam hal menikmati hasil maupun kesempatan untuk turut ambil bagian dalam mengendalikan seluruh proses pembangunan yang diklaim sebagai ‘kerja sama timbale balik’ tersebut. Memang ada sejumlah tuntutan untuk pemerataan dan keseimbangan hak telah dilakukan ketika ada ketidak-adilan pembangunan, tetapi selalu ada cara efektif untuk menangkal berbagai bentuk tuntutan dari masyarakat. Setiap tuntutan sering ditanggapi secara timpang dengan dalih bahwa tuntutan tersebut mengandung hal-hal kontras yang berpotensi mengancam stabilitas dan keamanan nasional,[3] atau dengan bahasa yang lebih halus: ‘ini adalah negara yang masih dalam proses pembangunan, jadi segala bentuk kekurangan mutlak perlu untuk dimaklumi (Heryanto, 1988). 

Bahasa ‘pembangunan’ di Indonesia selalu diibaratkan dengan ‘membangun rumah sendiri’ agar tampak moderen seperti sejumlah bangunan fisik di berbagai kawasan metropolitan. Para pengamat dan ahli pembangunan maupun politikus menyatakan bahwa sampai dengan saat ini, program pembangunan di Indonesia difokuskan terutama pada peningkatan infrastruktur untuk industrialisasi dan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Atas nama pemerataan pembangunan, pemerintah menggenjot berbagai model pembangunan seperti kantor, pabrik, sekolah, maupun gedung-gedung pencakar langit, jalan raya, pasar, taman bermain, hutan konservasi, sistem telekomunikasi dan informasi, dan tak lupa persenjataan militer beserta pasukannya demi menjamin kebutuhan hidup rakyatnya beserta ketertiban umum yang cenderung represif. Semua hal itu diadakan dalam rangka mengisi apa yang kosong atau belum dimiliki oleh wilayah yang ingin dibangun agar tampak sama majunya dengan wilayah lain yang dianggap sudah moderen. Dalam hal ini, ada pihak tertentu (pemerintah beserta konglomeratnya) menjadi pemegang kendali atau punya otoritas untuk merencanakan dan mengendalikan seluruh dinamika pembangunan di tingkat lokal maupun nasional.    

Dalam beberapa dekade terakhir, sebagaian besar bangsa Indonesia telah terjebak dengan term ‘pembangunan’ dan menganggapnya sebagai proses alamiah. Ibarat matahari yang selalu terbit di timur dan menawarkan daya hidup, pembangunan tampaknya tidak terhindarkan. Pembangunan memiliki kekuatan hegemoni yang luar biasa dan punya daya tipu yang jarang ditangkap oleh kesadaran jutaan manusia di abad ini karena terlalu terbuai dengan janji-janji manis beserta tawaran kenikmatan yang justru tak pernah menuai kenyataan.

Pada titik inilah, kapitalisme bermain peran untuk beradaptasi dengan pola demokrasi yang ada, dan mengisi atau memenuhi apa yang dibutuhkan di dalam pembangunan serta menyerap dan mengakamodasi para elit politik lokal maupun nasional sebagai partner kerja dan penjamin penguatan maupun kestabilan ekonomi pembangunan di tingkat daerah dan nasional.  

Pemekaran dan Peluang Kebangkitan Modal: Strategi Ekonomi Politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun