Mohon tunggu...
Hardly Pariela
Hardly Pariela Mohon Tunggu... Lainnya - Public Discourse

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menakar Urgensi Pengaturan Konten Internet

10 Maret 2022   09:31 Diperbarui: 10 Maret 2022   10:43 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini penolakan pengaturan internet seringkali didasarkan pada argumentasi bahwa antara internet dengan media konvensional memiliki arsitektur teknologi yang berbeda. 

Selain itu terdapat kekhawatiran yang mendasar bahwa pengaturan internet akan mengamputasi karakteristik sebagai media yang demokratis. Namun Holmes (2012), mengatakan: "konsekuensi teoritis dari second media age adalah keharusan untuk merevisi secara radikal tentang signifikansi sosiologis dari media broadcast sebagaimana tradisi kajian media selama ini". 

Artinya pengaturan internet tidak semata didasarkan pada pertimbangan teknologi, namun yang jauh lebih penting pengaturan internet sebagai media komunikasi baru harus dilihat dari perspektif sosiologis dalam dinamika komunikasi yang terjadi.

Dalam kaitannya dengan teknologi, Van Dijk (1999) menyebutkan bahwa teknologi digital yang dimediasi oleh jaringan internet menyebabkan terjadinya konvergensi media melalui integrasi telekomunikasi, komunikasi data, dan komunikasi massa. 

Flew (2002) menyampaikan bahwa digitalisasi membawa pemisahan antara saluran komunikasi dengan konten. Dimana konten digital adalah satuan bit yang secara universal dapat dialihkan dan dimanipulasi pada berbagai media. 

Bolter dan Grusin (1999) menyebutkan: "Saat ini tidak ada media tunggal yang melakukan karya budayanya secara terisolasi dari media lain, baik secara sosial maupun ekonomi. Media baru adalah cara memberi bentuk pada media yang lebih tua, dan cara media lebih tua untuk mengubah diri menjawab tantangan media baru". 

Merujuk pada ketiga pendapat tersebut, maka diperlukan pengaturan internet baik dalam aspek teknologi maupun aspek konten yang memiliki dampak secara sosiologis yang luas kepada masyarakat.

Tentu pengaturan internet tidak boleh dibiarkan mengarah pada pengekangan kebebasan berbicara dan berekspresi, namun harus diarahkan untuk meminimalisir ekses negatif sekaligus mendorong semakin banyak dinamika positif melalui media komunikasi digital berjaringan. 

Berbagai negara di dunia telah mulai mengatur internet dalam Undang -- Undang (UU) Nasional. Beberapa diantaranya seperti Rusia, Turki, Australia, Jerman dan Perancis memiliki UU yang mengatur tentang konten sosial media. Sementara di Inggris, Office of Communications (Ofcom) sebagai regulator telekomunikasi juga berusaha mengatur internet, meskipun belum terdapat UU.

Indonesia sebenarnya telah memiliki UU yang mengatur tentang internet, yaitu UU no.11 tahun 2008 yang telah diubah melalui UU no.19 tahun 2016 tentang Informasi dan dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun terdapat paling tidak tiga catatan kritis terhadap UU ITE. 

Pertama, UU ITE lebih mengedepankan prinsip cyber security atau keamanan siber. Sehingga kritik yang kedua, UU ITE memiliki karakteristik represif, dimana hanya terdapat satu instrumen sanksi yaitu pidana. Catatan kritis yang ketiga, obyek hukum dari UU ITE adalah individu pengguna internet. UU ITE belum mengatur tanggung jawab pengelola aplikasi internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun