Mohon tunggu...
Hardly Pariela
Hardly Pariela Mohon Tunggu... Lainnya - Public Discourse

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menakar Urgensi Pengaturan Konten Internet

10 Maret 2022   09:31 Diperbarui: 10 Maret 2022   10:43 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disrupsi digital.

Terobosan baru di bidang teknologi telah mengakibatkan disrupsi pada semua industri. Di sisi lain, penggunaan teknologi telah mengubah cara masyarakat dalam berekspresi, mencari informasi serta mendapatkan hiburan (Schwab, 2019). 

Teknologi digital dan jaringan internet telah mendorong munculnya saluran komunikasi massa baru yang memiliki karakteristik berbeda dengan media massa konvensional seperti surat kabar cetak, maupun radio dan televisi yang bersiaran secara terrestrial. 

Media massa konvensional dicirikan dengan keberadaan institusi media sebagai gatekeeper sekaligus titik penyebar informasi kepada khalayak sebagai penerima informasi. Sedangkan teknologi komunikasi digital melalui jaringan internet, atau media internet memungkinkan setiap individu menjadi pembuat sekaligus penerima informasi.

Mengutip para teoritisi kebangkitan media baru atau second media age, David Holmes dalam buku Teori Komunikasi, Media, Teknologi, dan Masyarakat (2012) menyampaikan bahwa dibandingkan media broadcast, internet menawarkan potensi kebebasan berekspresi dan hak untuk berkumpul secara elektronik. Internet menghadapi lebih sedikit kendala teknis, politis maupun sosial. Karakter demokratis internet berakar dalam struktur teknis yang terdesentralisasi. 

Di tengah kontrol yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan atas media broadcast, internet dipandang mewakili medium  teknis tak terbatas untuk pemulihan public sphere. Poster (1997) menyebutkan bahwa internet berpotensi menumbangkan bentuk-bentuk rasionalisasi dan logocentric dari otoritas politik. Keajaiban internet adalah secara radikal mendesentralisasi semua aparatus produksi budaya.

Karakteristik Internet.

Internet dianggap sebagai media yang lebih demokratis dibandingkan media konvensional, paling tidak karena tiga faktor, interactivity, anomitas dan tanpa otoritas institusional. 

Internet memungkinkan terjadinya pola komunikasi interpersonal dari satu individu kepada individu lain (one to one direction), maupun komunikasi massa dari satu individu kepada berbagai individu lain (one to many direction), bahkan dari berbagai individu kepada berbagai individu (many to many direction).

Internet juga memungkinkan pengguna untuk membuat dan menggunakan identitas yang berbeda dengan indentitas aslinya, sehingga dapat melunturkan hambatan struktural, sosiologis, bahkan psikologis untuk menyampaikan aspirasi. 

Sebagian besar platform internet dikelola dengan perspektif teknologi, dimana pengelolanya hanya mengatur secara teknis agar nyaman dipergunakan oleh individu sebagai user.

Konten sepenuhnya menjadi tanggung jawab user yang membuat dan dikaitkan dengan relasinya dengan user yang lain. Tidak ada otoritas institusional yang melakukan pengawasan atas konten internet. 

Karakteristik itu tentu sangat berbeda dengan media konvensional yang lebih bersifat komunikasi massa satu arah dan kewajiban identitas yang jelas dalam penyampaian informasi. Selain itu media konvesional dijalankan oleh institusi media yang memiliki tanggung jawab untuk mengelola informasi sesuai regulasi, serta keberadaan otoritas eksternal untuk melakukan pengawasan.

Perbedaan karakteristik antara media internet dan konvensional di satu sisi dapat dianggap sebagai instrumen pembebasan dari tirani institusi media dan otoritas negara dalam penyampaian informasi, serta kebebasan dalam kreasi konten, namun di sisi lain juga menimbulkan ekses negatif.

Fitur interactivity yang tidak diatur dengan baik, dapat menjadi dinamika diskusi yang mengarah pada argumentum ad hominum. Berdebat hanya untuk dianggap hebat dengan saling menyerang secara semantik maupun personal, daripada berdialektika mencari konklusi. 

Apalagi fitur interactivity pada media internet dilakukan melalui interface atau perantaraan computer, dimana partisipannya dimungkinkan sangat banyak, diskusi tidak selalu dilakukan secara real time bagi semua partisipan, sehingga berpotensi menimbulkan bias makna. Interactivity interface computer belum sepenuhnya dapat menggantikan interactivity face to face, atau tatap muka secara langsung.

Anomitas komunikasi melalui internet dapat menimbulkan ekses ketiadaan tanggung jawab dalam membuat informasi maupun hiburan. Berita palsu, informasi yang menyesatkan, ujaran kebencian, penggunaan kalimat makian, fitnah, bahkan konten hiburan yang melanggar norma kesopanan dapat dibuat oleh pengguna internet yang memanfaatkan anomitas untuk menghindari tanggung jawab sosial dan hukum. 

Ketiadaan otoritas institusi negara dalam mengatur dan mengawasi dinamika internet dapat berakibat ekses negatif internet berkembang jauh lebih banyak dibanding potensi positif internet sebagai media digital berjaringan.

Pengaturan Internet.

Beberapa data ekses negatif internet dapat disampaikan disini. Pada periode Januari -- Oktober 2017 Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) mendapatkan pengaduan tentang 51.456 konten negatif di internet. 

Diantaranya konten pornografi sebanyak 16.902 konten, SARA/kebencian 15.818 konten, dan hoax 7.633 konten. Pada periode Agustus 2018 -- April 2019 melalui mesin pengais konten negatif diidentifikasi 898.108 konten pornografi. Juga terdeteksi 162 hoax pemilu, 3.021 penipuan online, 10.451 konten radikal, 71.265 konten perjudian, dan 50 perundungan siber. 

Sepanjang tahun 2019 terdapat 431.065 aduan konten negatif internet. Konten pornografi masih menempati tempat tertinggi sebanyak 244.738, disusul oleh konten fitnah sebanyak 57.984, meresahkan masyarakat 53.455 konten, dan konten hoax sebanyak 15.361. Bahkan terkait pandemi covid19, Kemkominfo menyebutkan dalam periode 23 Januari hingga 15 Juni 2020, terdapat setidaknya 850 kabar bohong yang beredar melalui media sosial maupun aplikasi pesan instan.

Selama ini penolakan pengaturan internet seringkali didasarkan pada argumentasi bahwa antara internet dengan media konvensional memiliki arsitektur teknologi yang berbeda. 

Selain itu terdapat kekhawatiran yang mendasar bahwa pengaturan internet akan mengamputasi karakteristik sebagai media yang demokratis. Namun Holmes (2012), mengatakan: "konsekuensi teoritis dari second media age adalah keharusan untuk merevisi secara radikal tentang signifikansi sosiologis dari media broadcast sebagaimana tradisi kajian media selama ini". 

Artinya pengaturan internet tidak semata didasarkan pada pertimbangan teknologi, namun yang jauh lebih penting pengaturan internet sebagai media komunikasi baru harus dilihat dari perspektif sosiologis dalam dinamika komunikasi yang terjadi.

Dalam kaitannya dengan teknologi, Van Dijk (1999) menyebutkan bahwa teknologi digital yang dimediasi oleh jaringan internet menyebabkan terjadinya konvergensi media melalui integrasi telekomunikasi, komunikasi data, dan komunikasi massa. 

Flew (2002) menyampaikan bahwa digitalisasi membawa pemisahan antara saluran komunikasi dengan konten. Dimana konten digital adalah satuan bit yang secara universal dapat dialihkan dan dimanipulasi pada berbagai media. 

Bolter dan Grusin (1999) menyebutkan: "Saat ini tidak ada media tunggal yang melakukan karya budayanya secara terisolasi dari media lain, baik secara sosial maupun ekonomi. Media baru adalah cara memberi bentuk pada media yang lebih tua, dan cara media lebih tua untuk mengubah diri menjawab tantangan media baru". 

Merujuk pada ketiga pendapat tersebut, maka diperlukan pengaturan internet baik dalam aspek teknologi maupun aspek konten yang memiliki dampak secara sosiologis yang luas kepada masyarakat.

Tentu pengaturan internet tidak boleh dibiarkan mengarah pada pengekangan kebebasan berbicara dan berekspresi, namun harus diarahkan untuk meminimalisir ekses negatif sekaligus mendorong semakin banyak dinamika positif melalui media komunikasi digital berjaringan. 

Berbagai negara di dunia telah mulai mengatur internet dalam Undang -- Undang (UU) Nasional. Beberapa diantaranya seperti Rusia, Turki, Australia, Jerman dan Perancis memiliki UU yang mengatur tentang konten sosial media. Sementara di Inggris, Office of Communications (Ofcom) sebagai regulator telekomunikasi juga berusaha mengatur internet, meskipun belum terdapat UU.

Indonesia sebenarnya telah memiliki UU yang mengatur tentang internet, yaitu UU no.11 tahun 2008 yang telah diubah melalui UU no.19 tahun 2016 tentang Informasi dan dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun terdapat paling tidak tiga catatan kritis terhadap UU ITE. 

Pertama, UU ITE lebih mengedepankan prinsip cyber security atau keamanan siber. Sehingga kritik yang kedua, UU ITE memiliki karakteristik represif, dimana hanya terdapat satu instrumen sanksi yaitu pidana. Catatan kritis yang ketiga, obyek hukum dari UU ITE adalah individu pengguna internet. UU ITE belum mengatur tanggung jawab pengelola aplikasi internet.

Tiga Dimensi Pengaturan Internet.

Internet adalah media komunikasi jaringan yang mengintegrasikan berbagai model komunikasi. Oleh sebab itu agar pengaturan internet tidak menjadi instrumen represif, perlu dibagi paling tidak dalam tiga dimensi pengaturan. 

Dimana masing -- masing dimensi dimanifestasikan dalam minimal satu regulasi. Pertama adalah dimensi cyber-ethic, dimensi yang kedua adalah cyber-security, dan dimensi ketiga adalah cyber-economic. 

Prinsip utama dalam pengaturan internet adalah bagaimana menundukkan pengelola aplikasi dan website sebagai bagian dari obyek otoritas nasional. Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan keberadaan kantor perwakilan pengelola aplikasi dan website di Indoneisa. Sehingga obyek pengaturan internet bukan hanya individu sebagai pengguna, namun juga mengatur tanggung jawab pengelola aplikasi dan website.

Demi menjamin kebebasan berekspresi, namun tetap membuat rambu-rambu terhadap dinamika konten melalaui aplikasi dan website yang berfungsi sebagai media komunikasi massa, perlu UU tentang dimensi cyber-ethic yang mengedepankan pendekatan co-regulation, dimana regulasi teknis dibuat oleh pengelola dan pengguna aplikasi. Kemudian ditinjau dan ditetapkan oleh regulator sebagai parameter pengawasan. 

Dalam hal ini regulator yang dimaksud adalah lembaga negara independen, sebagai representasi civil society. Pengawasan dilakukan untuk moderasi konten sesuai dengan idealitas sosiologis yang diharapkan. UU dimensi cyber-security untuk memberikan hukuman terhadap pelaku kejahatan siber, diantaranya peretasan, penipuan, pemalsuan, dan perusakan.

Sedangkan UU dimensi cyber-economic diharapkan mampu mengatur dinamika transaksi keuangan digital agar tidak merugikan masyarakat Indonesia dan memberi kemanfaatan finansial kepada negara. 

Mengatur antara lain tentang pengenaan pajak dari semua aktivitas ekonomi digital, termasuk pendapatan iklan yang diperoleh mesin pencari, pengelola aplikasi dan website, maupun individu sebagai pengguna. Juga mengatur tentang penggunaan dan transaksi uang digital atau crypto currency.

Equal playing field.

Laswell (1948) merumuskan model komunikasi sebagai Who say what, in which channel, to whom, with what effect". Dalam komunikasi selalu terdapat subyek pemberi pesan, saluran pembawa pesan, obyek penerima pesan, dan dampak dari pesan. 

Pada media massa konvensional, model komunikasi Laswell cenderung berlangsung searah. Meskipun terdapat umpan balik (feedback) komunikasi, namun tidak terjadi dalam saluran yang sama. Sedangkan pada media baru sebagai saluran pembawa pesan, dengan desain teknologi digital berjaringan, maka model komunikasi Laswell dapat berlangsung dua arah pada saluran yang sama.

Dari model komunikasi Laswell media dalah saluran komunikasi, sedangkan konten adalah pesan yang disampaikan dan selalu menimbulkan efek atau dampak, baik secara kognisi, afeksi maupun konasi. 

Untuk meminimalisir dampak negatif pesan, media broadcast konvensional di Indonesia telah diatur dengan UU no.32/2002 tentang penyiaran. Namun perkembangan teknologi telah menghadirkan media komunikasi massa baru dan mengubah landscape media. 

Data Indonesia Digital Report 2022 yang dirilis hootsuit - we are social menyebutkan pengguna internet Indonesia sebesar 73,7% dari total populasi. Dengan rata-rata durasi waktu penggunaan internet dalam sehari selama  8 jam 36 menit. Sedangkan durasi rata-rata menonton televisi adalah 2 jam 50 menit, dan durasi rata -- rata mendengar radio hanya 37 menit setiap hari.

UU sendiri merupakan hukum, yang menurut Roscoe Pound (Lathif, 2017) memiliki fungsi untuk mengatur, mengelola, serta memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Selain itu juga sebagai instrumen pengawasan guna memelihara dan melanjutkan peradaban manusia. Dengan merujuk pada konsep tujuan hukum, maka relevansi UU no.32 / 2002 tentang Penyiaran patut dipertanyakan di tengah dinamika perubahan media. 

Jika dikaitkan dengan data Indonesia Digital Report 2022,  UU Penyiaran yang berlaku saat ini tidak lagi menyentuh atau berdampak pada sebagian besar populasi masyarakat Indonesia. Baik sebagai sarana menjaga ketertiban, pemenuhan kebutuhan maupun stimulasi perubahan peradaban yang sesuai dengan perkembangan teknologi maupun dinamika masyarakat. 

Dibutuhkan UU penyiaran baru dengan karakteristik konvergensi media, sekaligus  mengakomodasi dimensi cyber-ethic yang dapat disejajarkan dengan etika penyiaran.

Siaran Televisi dan Radio tidak bisa didorong mundur ke era sebelum internet, dengan regulator yang melakukan banyak pembatasan. Karena jika itu yang dilakukan, TV dan radio akan semakin cepat ditinggalkan oleh khalayak yang akan beralih ke media baru. Bukan semata karena kualitas konten, namun karena akan dipersepsi sebagai media yang kurang memberikan kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi. 

Sebaliknya, media baru juga tidak bisa dibiarkan terus tanpa pengaturan, karena faktanya selain berbagai dampak positif seperti: freedom of speech; freedom of expression; freedom to search and share information, media baru juga membawa banyak ekses negatif, diantaranya hoax, ujaran kebencian dan fragmentasi sosial. 

Di era digitalisasi internet ini diperlukan pengaturan yang mampu melindungi masyarakat dari ekses negatif konten, apapun medianya. Baik konten yang disalurkan melalui media lama, maupun disalurkan melalui media baru. 

Perlu titik keseimbangan baru pengaturan semua media, menciptakan equal playing field agar keberlimpahan informasi di era internet semakin banyak memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. (hsf)

Wearesocial/Kepios
Wearesocial/Kepios

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun