Begitulah batin Raya berteriak. Terlebih ia baru saja dimarahi oleh suaminya. Karena saat pulang malah mendapati rumah dalam keadaan yang berantakan. Raya belum sempat merapikan rumahnya. Â Hari ini Raya merasa sangat kerepotan. Bayinya yang bernama Mey seharian rewel---baru bisa tenang sekitar satu jam yang lalu. Raya bahkan belum sempat mandi dan makan malam.
Suaminya makin marah tatkala mengetahui tak ada makanan apapun yang dimasak oleh Raya, istrinya. Bahkan nasi pun tak ada.
"Apa susahnya masak nasi? Tinggal cuci beras, terus taruh di panci. Tinggal tunggu!" omel Danu. Dihempaskan tubuhnya pada sofa berwarna kecoklatan, pilihan istrinya dulu.
Danu memilih untuk beristirahat sejenak. Badannya lelah bukan main, selain itu tubuhnya terasa kotor dan lengket. Wajar saja, pekerjaan barunya sebagai juru pertambangan menuntutnya untuk berani berkotor-kotor dan kerap kali menguras energinya. Sehingga ia merasa wajar bila saat pulang bisa sedikit bersantai dan dilayani. Tapi nyatanya, malah rumah yang berantakan, anak yang rewel, istri yang acak-acakkan-- belum mandi, dan tak ada makanan yang ia temukan.
Danu berbaring di sofa, menutup matanya dengan lengan kiri di atasnya. Sengaja ia lakukan untuk menghindari cahaya lampu yang menyilaukan matanya. Tak lama kemudian, ia pun telah tertidur dengan pulas. Saking pulasnya bahkan suara jeritan tak akan mampu membangunkannya. Ia hanya dapat terbangun jikalau disentuh. Jika tidak, sampai habis suara pun mustahil Danu akan bangun.
Danu tak menyadari, diam-diam butiran bening telah berjatuhan di pipi Raya. Raya pun berbaring sejenak di ranjang, untuk sekadar menenangkan diri atas luka yang baru saja digores oleh suaminya. Entah sengaja atau kah tidak.
Raya mengenang ulang sudah berapa kali suaminya mengomeli, memarahi, dan bahkan membentaknya hanya karena hal-hal kecil semacam tadi.
"Ahh, rasanya tak terhitung!" ujarnya lirih sembari menahan perih di dadanya.
Raya beristirahat hanya sekejap. Ya, baginya sekejap itu harus cukup untuk melonggarkan hatinya yang sempat sesak tadi.
Segera saja ia beranjak dari pembaringan. Tentunya dengan terlebih dahulu menghapus air matanya. Sayangnya, mata sembabnya itu nyata terlihat.
Raya berpikir untuk memasak nasi terlebih dahulu. Lalu mendadar telur ayam kampung.