"Papa, di mana? Kapan ke Rumah Sakit? Mama udah lahiran!" berondong Raya setengah menangis.
"Papa masih lembur. Dua jam lagi papa ke sana!" jawab suara diseberang sana dengan nada sedikit meninggi.
Mendengar itu Raya melepas telepon milik rumah sakit tempat ia bersalin dan mulai menitikkan air mata satu persatu hingga mengenai pipi bayinya. Membuat bayi merah itu menangis kencang. Entah karena kaget atau karena merasa khawatir dengan ibunya.
Melihat bayinya menangis, Raya berusaha menenangkannya. Naluri keibuannya mampu mendahulukan bayinya dari pada menangisi nasibnya.
Lalu tak lama kemudian bayi mungil itu pun tertidur.
****
Si bayi mungil terbangun tatkala mendengar Raya merengek meminta seorang laki-laki agar menemaninya lebih lama lagi di ruangan yang sempit dan berbau obat. Namun, laki-laki itu menolak. Ia beralasan harus memiliki tidur yang cukup agar bisa kembali bekerja esok hari.
Mendengar itu Raya hanya terdiam. Butiran bening mulai berjatuhan di pipinya, sementara itu si laki-laki malah melenggang keluar. Meninggalkan sang istri dalam kesendiriannya, melewati masa-masa krusial yang rawan.
***
September 1992,
"Seseorang tolong aku!"