Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Aksara Mimpi || Bab 4 Skizofrenia Paranoid

8 Oktober 2023   13:07 Diperbarui: 8 Oktober 2023   13:42 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Ada apa, Nak?"

            "Ma, aku ingin tetap sekolah dan melanjutkan kuliah dengan usahaku sendiri!"

            "Ta-tapi, Nak, keadaanmu ...."

            "Keadaan yang lumpuh dan gila, begitu maksud Mama?" Rena meraih tangan ibunya, menciumnya, lalu menggenggamnya, "Ma, aku tak bisa hidup seperti ini selamanya. Aku akan berjuang mencapai cita-citaku. Suatu hari aku akan ke Paris, suatu saat aku akan sukses. Tak peduli aku harus meminum obat seumur hidup, asal aku dapat menebar manfaat untuk sesama."

            Melihat kesungguhan dan tekad yang membara di mata putrinya, membuat sang ibu luluh juga, hingga mengijinkan sang anak melanjutkan pendidikannya.

***

Ini kesekian kalinya Rena terbangun dari tidurnya dalam keadaan yang payah, matanya sembab dan pipinya basah. Ditambah pula air mata yang tak mau berhenti turun, sedang dadanya terasa sangat sesak tatkala ia sentuh. Setelah kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna, ia mulai mampu mencerna apa sebab tangisan dan sesaknya itu. Rupanya, karena ia telah bermimpi laki-laki yang sama untuk kesekian kalinya. Tak terhitung berapa kali ia bermimpi tentang laki-laki dengan tinggi menjulang yang pergi begitu saja meninggalkannya sendirian di ujung stasiun kereta.

Rena terduduk di tepi ranjang, ia mendekap erat tubuhnya sendiri. Keringat mulai mengucur dari dahinya. Diliriknya jam mungil di atas nakas.

"Pukul 02.00, selalu begini." lirihnya hampir-hampir akan menangis lagi. Ia kuat-kuatkan dirinya agar tak ada yang menguasainya lagi. Kemudian pandangannya teralih pada sebuah botol kaca berukuran 60 ml.

"Obat, aku butuh obat!" jeritnya tak tahan lagi menahan desakan dari dalam otaknya. Lekas diraihnya botol obat itu. Namun, karena tergesa-gesa botol berisi puluhan obat rekomendasi dokter kejiwaan itu malah jatuh berguling ke bawah, lalu hancul berkeping-keping di tas lantai granit. Seketika ia pun memekik.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki yang berderap-derap, mungkin setengah berlari menuju ke kamar Rena. Benar saja tak lama kemudian muncul Nida dari balik pintu dengan ekspresi cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun