Melihatku menangis ibu berusaha menenangkanku. Naluri keibuannya mampu mendahulukanku dari pada menangisi nasibnya.
Lalu tak lama kemudian aku pun tertidur.
****
Aku terbangun tatkala kudengar ibuku merengek meminta seorang laki-laki agar menemaninya lebih lama lagi di ruangan yang sempit dan berbau obat ini. Namun, laki-laki itu menolak. Ia beralasan harus memiliki tidur yang cukup agar bisa kembali bekerja esok hari.
Mendengar itu ibu hanya terdiam. Butiran bening mulai berjatuhan di pipinya, sementara itu si laki-laki malah melenggang keluar. Meninggalkan ibu dalam kesendiriannya, melewati masa-masa krusial yang rawan.
***
Tiga hari kemudian.
Aku dan ibu kembali berada di sebuah ruangan sempit. Meski tak sesempit di Rumah Sakit. Ada banyak barang di sini. Baju-baju menumpuk, belum dilipat dan di simpan dalam lemari. Aneka peralatan bayi terhampat begitu saja. Piring-piring kotor yang belum dicuci tergeletak begitu saja di bawah ranjang.
Udara terasa kering. Aku menangis meminta lebih banyak ruang untuk bernafas, tetapi ibu malah diam menyandar di ujung ranjang. Nampaknya ibu habis menangis. Wajahnya kacau sekali.
"Bagaimana ini? Aku sungguh lapar!" pintaku dalam tangisan yang semakin kencang dan menyedihkan.
Tak ada reaksi dari ibu. Ibu terlihat hanya terkulai layu. Lemas. Pikirannya entah kemana.