Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Ibuku di Dalam Ruang Sempit || Cerpen Dian Chandra

1 Oktober 2023   11:08 Diperbarui: 1 Oktober 2023   11:12 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Suleiman Legolas

Setelah berjam-jam berjuang melewati lorong yang gelap, sempit dan panjang, pada akhirnya aku berhasil ke luar. Seberkas cahaya yang sangat menyilaukan mata menyambutku. Membuatku memejamkan mataku. Suara-suara ucapan syukur mengagetkanku. Membuatku menangis seketika.

Tubuhku telanjang dan dipenuhi oleh lendir dan darah. Rasanya begitu dingin. Aku mulai protes dengan mengencangkan tangisku.

"Tolong! Aku ingin kembali pada cangkangku yang hangat!" teriakku menyerupai tangisan yang tak bermakna.

Tubuh telanjangku di oper ke sana ke mari. Hingga tangan yang hangat merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku mengenal kehangatan ini. Seketika aku menjadi jauh lebih tenang. Sementara mulut dan lidahku sibuk mencari-cari kebutuhanku yang terletak di dada pemilik kehangatan ini.

"Ibu!" Aku merengek pelan. Minta ditepuk punggungku agar kehangatan merayap di tubuhku.

Setelah mendapatkan beberapa tetes cairan berwarna putih kekuningan, para perawat dengan cepat memindahkan aku untuk dibersihkan.

Aku kembali pada ibuku. Seorang perempuan berumur lebih dari dua puluh tahun. Mungkin dua puluh dua. Ia hanya sendirian di ruang sempit berbau obat ini. Ahh, tidak. Ia berdua denganku.

Perempuan yang kupanggil ibu ini meraih ponselnya lalu mulai mengetik. Tak lama sebuah nada panggil terdengar. Sementara aku masih sibuk dengan payudara kiri ibuku.

"Papa, di mana? Kapan ke rumah sakit? Mama udah lahiran!" berondong ibuku setengah menangis.

"Papa masih lembur. Dua jam lagi Papa ke sana!" jawab suara di seberang sana dengan nada sedikit meninggi.

Mendengar itu ibuku melepas ponsel dan mulai menitikkan air matanya satu persatu hingga mengenai pipiku. Aku pun menangis kencang. Entah karena kaget atau karena merasa khawatir dengan ibuku.

Melihatku menangis ibu berusaha menenangkanku. Naluri keibuannya mampu mendahulukanku dari pada menangisi nasibnya.

Lalu tak lama kemudian aku pun tertidur.

****

Aku terbangun tatkala kudengar ibuku merengek meminta seorang laki-laki agar menemaninya lebih lama lagi di ruangan yang sempit dan berbau obat ini. Namun, laki-laki itu menolak. Ia beralasan harus memiliki tidur yang cukup agar bisa kembali bekerja esok hari.

Mendengar itu ibu hanya terdiam. Butiran bening mulai berjatuhan di pipinya, sementara itu si laki-laki malah melenggang keluar. Meninggalkan ibu dalam kesendiriannya, melewati masa-masa krusial yang rawan.

***

Tiga hari kemudian.

Aku dan ibu kembali berada di sebuah ruangan sempit. Meski tak sesempit di Rumah Sakit. Ada banyak barang di sini. Baju-baju menumpuk, belum dilipat dan di simpan dalam lemari. Aneka peralatan bayi terhampat begitu saja. Piring-piring kotor yang belum dicuci tergeletak begitu saja di bawah ranjang.

Udara terasa kering. Aku menangis meminta lebih banyak ruang untuk bernafas, tetapi ibu malah diam menyandar di ujung ranjang. Nampaknya ibu habis menangis. Wajahnya kacau sekali.

"Bagaimana ini? Aku sungguh lapar!" pintaku dalam tangisan yang semakin kencang dan menyedihkan.

Tak ada reaksi dari ibu. Ibu terlihat hanya terkulai layu. Lemas. Pikirannya entah kemana.

"Tolong! Seseorang tolong ibuku!"

"Seseorang tolong aku!"

**

"Bayi anda telah meninggal sekitar satu jam yang lalu. Dehidrasi dan kelelahan menangis penyebabnya!" jelas seorang pria berjas putih di hadapan laki-laki yang mengaku sebagai ayahku.

Aku dapat mendengarkan percakapan mereka, tapi anehnya aku tak merasakan lapar dan haus lagi. "Ahh, ibu. Di mana ibu? Aku ingin bersama ibu?"

Kudapati ibu sedang menangis putus asa di ujung lorong. Laki-laki yang mengaku sebagai ayahku itu datang menghampiri ibu. Matanya merah, wajahnya pun merah. Jelas sudah ia menahan marah.

Ahh, ibuku yang malang. Harus menghadapi semuanya sendirian.

"Ibu, lihat aku di sini. Di sebelah kanan bahumu," pintaku. Namun, ibu tak mendengarnya. Pun tak juga menyadari kehadiranku.

*

Di suatu malam yang dingin. Seorang perempuan muda terbaring di atas lantai marmer. Matanya melotot, tubuhnya kaku tak bergerak. Adapun dalam dekapannya terdapat sepasang sepatu bayi.

Dari kejauhan orang-orang mulai berbisik. Dari yang hanya sekedar embusan menjadi obrolan panjang di warung kopi dan tukang sayur langganan.

"Itu si Efi yang kemaren bayinya mati ia bunuh, sekarang malah mati bunuh diri ..."

"Kayaknya dia terkena baby blues deh. Khasian!"

"Suaminya di mana?"

"Sibuk kerja, katanya"

"Kok, malah kerja sih? Istri melahirkan 'kan bisa ambil cuti!"

Aku menyimak setiap kata yang keluar dari mulut ke mulut tersebut. Sampai akhirnya aku sadar, ibu tak pernah salah. Ibu adalah korban dari keegoisan dari seseorang yang mengaku sebagai suami dan ayah.

Sementara itu dari kejauhan kulihat samar-samar seorang perempuan berpakaian gaun panjang berwarna putih polos tampak tersenyum kepadaku. Tangannya melambai-lambai memintaku menghampirinya. Seumpama seorang ibu yang memanggil anaknya untuk berhenti bermain dan kembali pulang ke rumah bersamanya.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun