Setelah berjam-jam berjuang melewati lorong yang gelap, sempit dan panjang, pada akhirnya aku berhasil ke luar. Seberkas cahaya yang sangat menyilaukan mata menyambutku. Membuatku memejamkan mataku. Suara-suara ucapan syukur mengagetkanku. Membuatku menangis seketika.
Tubuhku telanjang dan dipenuhi oleh lendir dan darah. Rasanya begitu dingin. Aku mulai protes dengan mengencangkan tangisku.
"Tolong! Aku ingin kembali pada cangkangku yang hangat!" teriakku menyerupai tangisan yang tak bermakna.
Tubuh telanjangku di oper ke sana ke mari. Hingga tangan yang hangat merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku mengenal kehangatan ini. Seketika aku menjadi jauh lebih tenang. Sementara mulut dan lidahku sibuk mencari-cari kebutuhanku yang terletak di dada pemilik kehangatan ini.
"Ibu!" Aku merengek pelan. Minta ditepuk punggungku agar kehangatan merayap di tubuhku.
Setelah mendapatkan beberapa tetes cairan berwarna putih kekuningan, para perawat dengan cepat memindahkan aku untuk dibersihkan.
Aku kembali pada ibuku. Seorang perempuan berumur lebih dari dua puluh tahun. Mungkin dua puluh dua. Ia hanya sendirian di ruang sempit berbau obat ini. Ahh, tidak. Ia berdua denganku.
Perempuan yang kupanggil ibu ini meraih ponselnya lalu mulai mengetik. Tak lama sebuah nada panggil terdengar. Sementara aku masih sibuk dengan payudara kiri ibuku.
"Papa, di mana? Kapan ke rumah sakit? Mama udah lahiran!" berondong ibuku setengah menangis.
"Papa masih lembur. Dua jam lagi Papa ke sana!" jawab suara di seberang sana dengan nada sedikit meninggi.
Mendengar itu ibuku melepas ponsel dan mulai menitikkan air matanya satu persatu hingga mengenai pipiku. Aku pun menangis kencang. Entah karena kaget atau karena merasa khawatir dengan ibuku.