***
Nyonya Dhi jatuh terduduk di tanah basah, tepat di hadapan Igle. Ada pembatas di antara keduanya, yakni pagar pohon-pohon anggur. Lelaki keturunan bangsawan Spanyol itu lekas bangkit dan mulai menyunggingkan senyumnya, yang lebih menyerupai seringai serigala. Dengan cepat, pohon-pohon anggur  bergerak menjauhi Igle. Sehingga kini tak lagi ada jarak di antara keduanya. Namun, hujan masih saja terus mengguyur. Membikin gigil di tubuh Nyonya Dhi.
"Selamat datang author Dhian Chandra. Bagaimana hari-harimu, buruk bukan?" cemooh Igle, membuat mata Nyonya Dhi seketika terbelalak dan mungkin saja hampir lepas.
"Blash!" Belasan lilin tiba-tiba menyala. Kini tampaklah muka keduanya.
"Siapa kau? Kenapa aku bisa berada di perkebunan ... ini pohon-pohon anggur?"
"Hahaha, ya ya ya. Kau berada di perkebunan Bangsawan Trasmoz. Dan ini aku Igle ... karakter favoritmu, bukan?" Igle mulai memutari Nyonya Dhi. Sementara hujan mulai menghentikan lajunya, hingga tinggal gerimis.
"Apa maumu?" tantang Nyonya Dhi. Nampaknya, Nyonya Dhi cukup pandai menangkap situasi yang sedang dia alami. Tanpa perlu bertanya, dia sudah paham, bahwa dia lagi-lagi tersesat ke dalam dunia yang dia tulis sendiri. Namun, kebingungan mulai melanda pikirannya, "Bukankah sekawanan buku-buku bermaksud mendamaikan aku dengan suamiku? Lalu mengapa malah jadi begini, tokoh yang kubuat seakan-akan menentangku?"
"Aku tak mau apa-apa. Kecuali kematianmu!" Igle mulai menyerang dengan menggunakan sebilah pedang yang mendadak telah berada begitu saja di tangannya.
Nyonya Dhi yang lamban itu, tentu saja bukan tandingannya. Namun ....
"Crang!" Dua bilah pedang saling bergesekan. Tampak seorang perempuan muda, mengenakan jaket kulit, rok hitam pendek, sepatu bot sebetis, dan rambut hitam terikat ke belakang, tengah berjuang menahan laju pedang milik Igle.
"Clash!" Pedang milik perempuan muda itu tepat mengenai bahu Igle.
"Stop! Hentikan!" teriak Nyonya Dhi. Dia tak rela dan juga tak tahan, melihat kedua tokohnya saling bertarung.