Malam-malam aku mengiba
Pada Tuhan dan nyala api kebencian
Sedang takdir masih mengekoriku
Dengan teramat jalang
....
Langit malam Desa Trasmoz tampak mengerikan. Tak ada bintang, pun bulan. Sementara awan hitam bergulung-gulung disertai dengan angin yang berembus kencang, menerbangkan beberapa benda. Tak lama kemudian muncul kilat dan petir yang menggelegar memekakkan telinga, lalu hujan pun turun.
Warga desa menutup pintu dan jendela rumah masing-masing, bersembunyi di balik selimut dan perapian. Sebagian lainnya mendekap pasangan, saling berbagi keberanian. Sungguh, tak ada satupun yang nekat ke luar rumah. Mereka tahu ada bahaya di luar sana yang sedang mengintai. Entah, ditujukan kepada siapa. Para warga miskin itu tak ambil peduli. Cukup dengan mengamankan diri mereka sendiri beserta orang-orang terkasih.
Sementara itu, di waktu yang sama. Igle, Sang Ksatria Iblis duduk bersimpuh menghadap belasan lilin yang nyala apinya telah lama padam. Lelaki jangkung itu sudah lama mendiami perkebunan anggur milik Bangsawan Trasmoz. Mungkin sudah berminggu-minggu. Tanpa sedikit pun beranjak dari tempat di mana dia bersimpuh dan merapal mantra.
Igle berada di tengah-tengah pohon-pohon anggur, yang seakan-akan sengaja dibentuk untuk mengelilinginya serupa pagar keliling. Sedang di dalam hatinya tersimpan dendam, yang semakin hari semakin memakan isi kepalanya. Hingga membuat dirinya menggila.
"Author, kau akan tamat!" desisnya, tanpa mempedulikan titik-titik hujan yang  terus menerus menghantam wajahnya.
***
Di rumah Tuan dan Nyonya Dhi, lagi-lagi keributan bermula. Perempuan itu tak terima bila suaminya online di sosial media, namun tak merespon pesan yang telah sejam lalu dia kirimkan.
Â
"Apakah aku tak pernah berarti untukmu? Dulu sewaktu bersama mantan pacarmu, kau begitu khawatir saat dia tak memberimu kabar. Hingga akhirnya kau temui dia di sosial medianya. Sedangkan kepadaku, selalu aku yang berusaha untuk hubungan ini. Dasar babi, kau!" keluhnya dalam hati.
Dia sendirian saja di kamarnya. Oh, tentu saja tidak sepenuhnya begitu. Sebab, tiga anak-anaknya telah tertidur sejak satu jam yang lalu. Meninggalkan Nyonya Dhi dengan segala overthinking-nya.
Nyonya Dhi membenamkan wajahnya pada sekerat bantal, dia kuburkan dalam-dalam air matanya di sana, hingga menyatu dengan isi bantal -perca, kapuk, dan sampah kain lainnya. Dan lagi-lagi di luar kamar, sekawanan buku mulai bersiap-siap untuk hidup.
"Tit ... tit!" Pukul 22.00 telah tiba di rumah Tuan dan Nyonya Dhi. Maka kebebasan pun bermula. Memberangkatkan Nyonya Dhi pada panggilan gaib Igle, Sang Ksatria Iblis. Kali ini tanpa Tuan Dhi, mungkin?