Kamis, 30 Juni 2022,
Pukul 23:23 WIB
Pertengahan malam ini sungguh kelam. Tak ada satu pun makanan yang bisa kumakan. Entah dimana orang-orang kaya itu meletakkan sisa-sisa makanan mereka yang biasanya selalu melimpah ruah. Hingga aku tak perlu memakan tikus dan curut. Apalagi harus sibuk mengorek-ngorek tong sampah, seperti saat ini.
"Fiyuh!" Aku menghela napas ala kucing. Tong sampah ini hanya dipenuhi dengan kertas-kertas kusam. Apakah aku akan beralih kepada tikus, curut, dan teman-temannya, yang kerap muncul untuk meramaikan malam yang sepi? Haruskah?
Ahh, malam kian larut saja. Sedang binatang malam tak jua kutemui. Padahal aku sangat menginginkannya. Perutku ini sudah melilit sedari petang tadi.
Pelan, sungguh pelan, kulangkahkan kaki yang masih terasa sakit. Bekas tertabrak motor tadi siang. Uhh, beruntung anak si Nyonya Pelit itu mau membantu mengobati kaki kiriku yang sepertinya hampir patah. Bahkan, anak laki-laki itu memberikanku sepotong sayap ayam goreng yang kumakan dengan lahap dan terburu-buru. Sebab, aku tak ingin ketahuan oleh ibunya yang pelitnya kebangetan.
Benar saja, si nyonya berpakaian serba merah itu mengetahui kehadiranku di dapur rumahnya. Segera saja dia mengusirku dengan membabi buta.
Sial. Padahal aku baru makan separuh. Perut ini belum kenyang betul.
Jumat, 01 Juli 2022,
Pukul 01:01 WIB
Ahh, ingin kuberpuisi. Untuk melepaskan segala kemalangan ini. Duhai, kakiku ini masih sakit sekali, sedang perut kian melilit. Perumahan ini masih menyimpan erat-erat sisa-sisa makan malam mereka. Mungkin mereka akan memakan kembali di keesokan paginya. Bukankah itu sangat menjijikkan untuk ukuran kaum manusia yang mengaku sebagai makhluk paling pintar?
tikus, curut, kecoak, jangkrik
datang, datanglah padaku
yang hampir mati ini
lekas!
Jumat, 01 Juli 2022,
Pukul 01:50 WIB
Aku menyandarkan diri di pagar rumah si Nyonya Pelit. Lumayan lah untuk mengistirahatkan napas. Huh, apa aku akan makan rumput saja malam ini?
"Kresek ... kresek. Ngok ... ngok!" Ehh, bunyi apa itu? Aneh! Kuedarkan pandang di kegelapan malam. Huh, dasar orang kaya pelit! Memasang lampu jalan pun tak mau. Untung mataku ini hebat -- bisa menyala di dalam gelap--.
"Ngok ... ngok ... kresek ... kresek!" Hah, bunyi aneh apa lagi itu? Ehh, ta-pi tapi apa itu hitam-hitam?
"Babi ngepet, kah?" Aku hampir berteriak, sedang hewan bulat, hitam, dan gembul itu tengah merapat-rapatkan badan ke dinding rumah si Nyonya Pelit. Ehh, ta-tapi bagaimana bisa dia secepat itu bisa ke dinding. Aku saja masih di balik pagar.
Duh, itu memang benar Babi Ngepet. Harus kuapakan, ya?
Dulu nenek pernah bercerita kalo kami bangsa kucing memiliki kemampuan untuk melihat ruh dan menangkal ilmu hitam.
"Babi Ngepet itu harus kuberi pelajaran!"
Ehh, tapi ... bukankah Babi jelek itu akan menggasak rumah si Nyonya Pelit? Ahh, biarkan sajalah.
Lebih baik aku menggali tanah. Mencari hewan yang layak untuk dimakan. Lalu aku pun mulai berpuisi kembali.
oh wahai, tikus, curut, semut,
kecoak, jangkrik
temui aku
di batas batas kehidupanku
Ehh, kehidupan? Apa pantas aku membiarkan Babi Ngepet menggerogoti kehidupan orang? Â Â Â
Tidak! Aku tak boleh berhati sejahat Babi Ngepet. Bukankah anak laki-laki si Nyonya Pelit itu telah begitu baik kepadaku. Berkat anak itu lah aku tak jadi mati. Ya, meski sekarang aku kelaparan dan sedikit kepayahan. Namun, setidaknya aku masih hidup. Maka sekejap kemudian aku mulai berdoa.
"Tuhan, beri aku kekuatan untuk membalas kebaikan anak laki-laki si Nyonya Pelit," pintaku tiba-tiba. Ahh, mungkin aku sedang mendadak religius. Namun, mendadak aku merasa memiliki kekuatan penuh di keempat kaki-kakiku.
Tanpa basa-basi, aku pun segera meloncati pagar. Lalu kuterjang badan Babi Ngepet yang keras itu.
"Hiyaaa! Pergi kau, Babi sialan!" Aku menyerang Babi gempal itu dengan cakar-cakarku yang tajam. Babi itu sedikit menghindar. Matanya menatap nyalang ke kedalaman mataku. Ada kebencian di sana. Namun, aku tak peduli.
"Pergi, kau, Manusia Babi! Atau kau akan jadi babi selamanya?" ancamku.
Babi jadi-jadian itu seketika lemas. Ya, pengaruh kegelapan Iblis telah kunetralkan melalui nyala mataku. Babi itu pun raib tak berbekas. Ahh, semoga saja babi itu belum menggasak harta si Nyonya Pelit.
Lalu malam pun kian hening, kian larut. Ahh, mendadak rasa laparku kumat. Maka berjalanlah aku menuju kegelapan malam. Tentu, sembari berpuisi.
perumahan ini purba
tak kutemui sisa sisa makan malam
orang orang kaya
yang biasanya gemar
memahat mahat kesombongan
pada hamburan makanan
yang tergeletak di meja makan, di dapur, di tiap tiap pertemuan
dan di
tong sampah
tikus, curut, semut, kecoak, jangkrik
mendekatlah!
singgah sejenak di perutku
yang makin keroncongan ini
sesekali matilah dengan pengorbanan
yang paling agung
: di perutku yang lapang
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H