Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Tengah Malam Kucing Hitam | Fabel Dewasa Dian Chandra

10 Juni 2023   18:00 Diperbarui: 10 Juni 2023   18:07 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Dian Chandra

Kamis, 30 Juni 2022,

Pukul 23:23 WIB

Pertengahan malam ini sungguh kelam. Tak ada satu pun makanan yang bisa kumakan. Entah dimana orang-orang kaya itu meletakkan sisa-sisa makanan mereka yang biasanya selalu melimpah ruah. Hingga aku tak perlu memakan tikus dan curut. Apalagi harus sibuk mengorek-ngorek tong sampah, seperti saat ini.

"Fiyuh!" Aku menghela napas ala kucing. Tong sampah ini hanya dipenuhi dengan kertas-kertas kusam. Apakah aku akan beralih kepada tikus, curut, dan teman-temannya, yang kerap muncul untuk meramaikan malam yang sepi? Haruskah?

Ahh, malam kian larut saja. Sedang binatang malam tak jua kutemui. Padahal aku sangat menginginkannya. Perutku ini sudah melilit sedari petang tadi.

Pelan, sungguh pelan, kulangkahkan kaki yang masih terasa sakit. Bekas tertabrak motor tadi siang. Uhh, beruntung anak si Nyonya Pelit itu mau membantu mengobati kaki kiriku yang sepertinya hampir patah. Bahkan, anak laki-laki itu memberikanku sepotong sayap ayam goreng yang kumakan dengan lahap dan terburu-buru. Sebab, aku tak ingin ketahuan oleh ibunya yang pelitnya kebangetan.

Benar saja, si nyonya berpakaian serba merah itu mengetahui kehadiranku di dapur rumahnya. Segera saja dia mengusirku dengan membabi buta.

Sial. Padahal aku baru makan separuh. Perut ini belum kenyang betul.

Jumat, 01 Juli 2022,

Pukul 01:01 WIB

Ahh, ingin kuberpuisi. Untuk melepaskan segala kemalangan ini. Duhai, kakiku ini masih sakit sekali, sedang perut kian melilit. Perumahan ini masih menyimpan erat-erat sisa-sisa makan malam mereka. Mungkin mereka akan memakan kembali di keesokan paginya. Bukankah itu sangat menjijikkan untuk ukuran kaum manusia yang mengaku sebagai makhluk paling pintar?

tikus, curut, kecoak, jangkrik

datang, datanglah padaku

yang hampir mati ini

lekas!

Jumat, 01 Juli 2022,

Pukul 01:50 WIB

Aku menyandarkan diri di pagar rumah si Nyonya Pelit. Lumayan lah untuk mengistirahatkan napas. Huh, apa aku akan makan rumput saja malam ini?

"Kresek ... kresek. Ngok ... ngok!" Ehh, bunyi apa itu? Aneh! Kuedarkan pandang di kegelapan malam. Huh, dasar orang kaya pelit! Memasang lampu jalan pun tak mau. Untung mataku ini hebat -- bisa menyala di dalam gelap--.

"Ngok ... ngok ... kresek ... kresek!" Hah, bunyi aneh apa lagi itu? Ehh, ta-pi tapi apa itu hitam-hitam?

"Babi ngepet, kah?" Aku hampir berteriak, sedang hewan bulat, hitam, dan gembul itu tengah merapat-rapatkan badan ke dinding rumah si Nyonya Pelit. Ehh, ta-tapi bagaimana bisa dia secepat itu bisa ke dinding. Aku saja masih di balik pagar.

Duh, itu memang benar Babi Ngepet. Harus kuapakan, ya?

Dulu nenek pernah bercerita kalo kami bangsa kucing memiliki kemampuan untuk melihat ruh dan menangkal ilmu hitam.

"Babi Ngepet itu harus kuberi pelajaran!"

Ehh, tapi ... bukankah Babi jelek itu akan menggasak rumah si Nyonya Pelit? Ahh, biarkan sajalah.

Lebih baik aku menggali tanah. Mencari hewan yang layak untuk dimakan. Lalu aku pun mulai berpuisi kembali.

oh wahai, tikus, curut, semut,

kecoak, jangkrik

temui aku

di batas batas kehidupanku

Ehh, kehidupan? Apa pantas aku membiarkan Babi Ngepet menggerogoti kehidupan orang?      

Tidak! Aku tak boleh berhati sejahat Babi Ngepet. Bukankah anak laki-laki si Nyonya Pelit itu telah begitu baik kepadaku. Berkat anak itu lah aku tak jadi mati. Ya, meski sekarang aku kelaparan dan sedikit kepayahan. Namun, setidaknya aku masih hidup. Maka sekejap kemudian aku mulai berdoa.

"Tuhan, beri aku kekuatan untuk membalas kebaikan anak laki-laki si Nyonya Pelit," pintaku tiba-tiba. Ahh, mungkin aku sedang mendadak religius. Namun, mendadak aku merasa memiliki kekuatan penuh di keempat kaki-kakiku.

Tanpa basa-basi, aku pun segera meloncati pagar. Lalu kuterjang badan Babi Ngepet yang keras itu.

"Hiyaaa! Pergi kau, Babi sialan!" Aku menyerang Babi gempal itu dengan cakar-cakarku yang tajam. Babi itu sedikit menghindar. Matanya menatap nyalang ke kedalaman mataku. Ada kebencian di sana. Namun, aku tak peduli.

"Pergi, kau, Manusia Babi! Atau kau akan jadi babi selamanya?" ancamku.

Babi jadi-jadian itu seketika lemas. Ya, pengaruh kegelapan Iblis telah kunetralkan melalui nyala mataku. Babi itu pun raib tak berbekas. Ahh, semoga saja babi itu belum menggasak harta si Nyonya Pelit.

Lalu malam pun kian hening, kian larut. Ahh, mendadak rasa laparku kumat. Maka berjalanlah aku menuju kegelapan malam. Tentu, sembari berpuisi.

perumahan ini purba

tak kutemui sisa sisa makan malam

orang orang kaya

yang biasanya gemar

memahat mahat kesombongan

pada hamburan makanan

yang tergeletak di meja makan, di dapur, di tiap tiap pertemuan

dan di

tong sampah


tikus, curut, semut, kecoak, jangkrik

mendekatlah!

singgah sejenak di perutku

yang makin keroncongan ini


sesekali matilah dengan pengorbanan

yang paling agung

: di perutku yang lapang

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun