Loji itu menjadi simbol apabila Kota Surabaya pada titik tertentu sudah berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa. Keberadaan orang Eropa, terutama orang Belanda di Kota Surabaya, adalah tidak lain selain sebagai penjajah. Meskipun totalnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan etnis lainnya, namun mereka lebih berkuasa.
Mereka merupakan aspek penentu akan arah kebijakan politik, ekonomi, dan sosial Kota Surabaya. Di periode tersebut, kota Surabaya sudah mencirikan sebagai kota kolonial, yang menurut Brenda Yeoh berisi masyarakat yang beraneka ragam, yakni penjajah, para pendatang (imigran) serta penduduk asli (Bumiputera).
Di pembahasan selanjutnya, dijelaskan tentang relasi antar etnis di kota Surabaya di zaman kolonial. Dimana pada masa tersebut hubungan masyarakat di kota kolonial bukanlah hubungan rasional yang sejajar. Seperti yang diketahui, orang-orang Eropa berupaya mempertahankan posisi mereka sebagai etnisitas yang berkuasa dengan memberlakukan politik etnisitas yang kaku.
Hubungan antar etnik di Kota Surabaya, khususnya hubungan antara orang-orang kulit putih Eropa dengan penduduk lokal cukup unik. Dalam banyak kasus hubungan mereka murni dalam kerangka hubungan antara penjajah dan yang terjajah.
Tentunya, apabila kita melihat kondisinya maka dapat dikatakan bahwa hubungan semacam ini bisa sangat menindas bagi yang terjajah. Meskipun demikian, pada waktu dan tempat yang berlainan hubungan mereka kadang-kadang dilandasi oleh motivasi kemanusiaan, yakni hubungan yang murni berdasarkan status sosial yang tidak dilandasi sentimen rasial.
Apabila hubungan itu terjalin antara majikan yang Eropa dan buruh yang Indonesia, maka baik-buruknya hubungan itu hanya dapat dipandang melalui kelas sosial mereka yang berbeda dan bukan karena perbedaan ras diantara mereka. Pada tempat-tempat umum, hubungan antar etnis hampir-hampir tidak menjadi permasalahan, meskipun dalam pengertian yang terbatas.
Pada tempat-tempat seperti kantor pos, stasiun kereta api dan bus, klinik, dan toko, atau di pasar-pasar, tidak ada satu pun pembatasan untuk mereka yang ingin berkunjung kesana dan mengurus kebutuhannya. Tetapi tidak dapat dipungkiri apabila ada juga tempat-tempat dan lembaga-lembaga tertentu yang memberlakukan kebijakan masuk selektif kepada orang Indonesia.
Simpang Club, contohnya, sebagai salah satu contoh dari White Men’s Territory di Surabaya. Sositeit ini adalah gedung pertemuan untuk berbagai aktivitas para warga yang berada, dan juga White Men’s Club yang khas di Hindia Belanda. Merujuk pada opini Kwee Tiam Tjing, penduduk Bumiputera yang bisa dan boleh mengunjungi wilayah khusus untuk orang kulit hanyalah “jongos” yang bekerja sebagai pelayan di kawasan tersebut.
Kurang baiknya hubungan bukan hanya menyangkut antara golongan Eropa dengan Bumiputera saja. Pada kondisi tertentu hubungan antara sesama orang Eropa dengan latar belakang kebangsaan yang berbeda kaang-kadang juga memburuk. Orang Eropa yang tinggal di Kota Surabaya tidak hanya orang Belanda.
Pada tahun 1930, jumlah orang Eropa non-Belanda terbanyak tinggal di Kota Surabaya pada masa itu adalah orang Jerman (840 orang). Hubungan orang-orang Belanda dengan orang-orang Jerman di Kota Surabaya memburuk saat tanggal 10 Mei 1940 Jerman membom Kota Rotterdam dan menduduki negeri Belanda.
Sikap dari orang-orang Belanda yang diskriminatif kepada etnis lain, disebabkan letak sosial dan politiknya yang istimewa, seringkali memancing reaksi negatif dari kelompok lain. Kelompok etnis yang merasa tidak nyaman dengan perilaku orang-orang Belanda lalu bersatu dan mengadakan perlawanan yang bersifat kebudayaan khas arek Suroboyo.