Mohon tunggu...
Hanz Armand
Hanz Armand Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blogger - Undergraduate Student - Universitas Airlangga

Lahir di Jakarta, Indonesia, Mohammad Hanzalla Armand berusia 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga, Surabaya. Menyukai hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan dunia, lifestyle, sosial budaya, ekonomi bisnis, musik, olahraga, teknologi, dan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Penduduk dan Hubungan Antar Etnis di Kota Surabaya pada Masa Kolonial" karya Prof. Purnawan Basundoro: Review Artikel

14 Mei 2022   22:55 Diperbarui: 16 Mei 2022   19:51 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara keseluruhan, artikel ini membahas mengenai sejarah perkotaan di Indonesia, tepatnya kota Surabaya

Sejarah perkotaan juga menjadi keahlian yang dimiliki oleh Prof. Purnawan Basundoro sebagai penulis artikel tersebut. Di artikel ini akan mendiskusikan tentang penduduk dan juga relasi antar etnis di kota Surabaya pada zaman kolonial Belanda, dimana di periode tersebut diketahui apabila kota Surabaya sudah mulai menjadi salah satu kota besar dan metropolitan yang ada di Hindia belanda. 

Melalui aspek itu, maka penduduk Suraba bisa dikatakan amat beragam yang tergolong menjadi berbagai etnis. Dalam tulisan karya Prof. Purnawan Basundoro ini berusaha untuk menjabarkan etnis apa saja yang menempati daerah kota Surabaya di periode kolonial Hindia Belanda serta juga bagaimana relasi antar etnis yang bersangkutan di periode kolonial.

Dengan total jumlah halaman sebanyak 13 halaman, artikel karya Prof. Purnawan Basunodoro ini mempunyai 2 topik pembahasan yang bernilai krusial didalamnya, topik tersebut meliputi keberagaman penduduk Surabaya dan relasi antar etnis di kota Surabaya. 

Di bagian awal buku yang bertepatan dengan bab pendahuluan, dijelaskan tentang perkembangan kota Surabaya yang telah menjadi salah satu kota besar dan metropolitan di periode itu di daerah Hindia Belanda, dimana tentunya aspek ini berkaitan erat dengan kontribusi politik kota itu (ditetapkan sebagai kota otonom/gemeente semenjak tahun 1906), 

kontribusi ekonomi (pusat perdagangan dan industri utama di Jawa bagian timur), serta peran sosial (kota dengan penduduk yang sangat heterogen). Ketiga peran itu sudah memengaruhi kota Surabaya hingga menjadi kota utama, tidak hanya melalui segi kuantitas (wilayah luas, jumlah penduduk banyak, volume berdagangan besar), namun juga melalui segi kualitas.

Melalui artikel ini, dijelaskan pembahasan awal tentang keberagaman penduduk Surabaya. Dalam bab ini, penjelasan dijabarkan secara detail apabila Surabaya di periode kolonial mempunyai keberagaman penduduk dan etnis suku yang amat beragam. 

Hal ini terlihat melalui penduduk Kota Surabaya yang terdiri dari berbagai etnis dan suku dari luar Hindia Belanda ataupun suku lokal bagi masyarakat pribumi. Biasanya, etnis terbesar dari penduduk Kota Surabaya merupakan orang Jawa.

 Pemerintah kolonial tidak pernah menggolongkan orang Jawa sebagai golongan etnis tersendiri, namun menjadi satu kesatuan dari golongan penduduk yang disebut Inheemschan dan secara politis dijuluki sebagai Inlander (Bumiputera atau Pribumi).

Dalam hal kebudayaan, sebagian besar penduduk Bumiputera di Kota Surabaya adalah orang Jawa dan sebagian orang Madura. Golongan etnis lain merupakan sebagian kecilnya. Diketahui jika mereka terdiri dari orang-orang yang lahir di kota itu dan para pendatang dari berbagai kabupaten di sekitar Kota Surabaya. 

Kemudian ada etnis pribumi lainnya yakni suku Bali dan Lombok di Kota Surabaya, dimana besar kemungkinannya suku ini datang berkaitan dengan perdagangan budak yang terjadi pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19. 

Pada tahun 1839, di Kota Surabaya terdapat 1.506 budak yang dipekerjakan di keluarga-keluarga Eropa. Etnis Pribumi lainnya yakni etnis Maluku atau Ambon. 

Yang menjadi faktor penyebab kedatangan mereka ke Surabaya karena mayoritas merupakan orang-orang yang direkrut menjadi tentara KNIL oleh pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian kecil adalah orang-orang bebas yang merantau ke Kota Surabaya atas kehendak sendiri yang dilakukan mereka. Suku  pribumi lainnya yakni suku Sumatera, dimana banyak orang Sumatera yang tinggal di Surabaya. 

Mayoritas orang-orang Sumatera di Kota Surabaya berprofesi sebagai pedagang. Orang Melayu (Maleische Kamp) di kota ini menunjukkan apabila kehadiran orang dari Sumatera cukup diakui, namun dengan tanda kutip; tidak ada data yang menunjukkan jumlah mereka dengan detail. 

Tidak hanya itu, orang-orang Sulawesi pun tidak sedikit yang tinggal di Kota Surabaya. Sebagian dari mereka merupakan orang-orang kapal yang lalu memutuskan untuk tinggal di Kota Surabaya dan orang-orang yang sengaja merantau ke kota ini untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian lagi merupakan orang-orang yang menuntut ilmu di kota ini namun setelah selesai tidak ingin pulang ke daerah asalnya. 

Selanjutnya, untuk etnis dari luar  masyarakat pribumi Hindia- Belanda di kota Surabaya, yakni terdapat suku Cina dimana orang-orang Cina di Kota Surabaya adalah sebagai perantau yang dalam jangka waktu periodenya telah sangat lama tinggal di kota ini. 

Orang-orang Eropa yang paling awal datang di Kota Surabaya telah melihat orang-orang Cina di kota ini. Profesi mereka amat banyak jenisnya, berawal dari pedagang, tukang kayu, tukang logam, manajer penggilingan beras, tanah pertanian, bandar candu, hingga jenis-jenis yang lainnya. 

Selanjutnya, imigran asing yang totalnya diketahui cukup besar di Surabaya di zaman kolonial ada bangsa Arab. Merujuk dari pendapat van den Berg, Surabaya adalah salah satu koloni besar Arab di Nusantara, beserta lima kota yang lain (Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan Semarang). Bahkan, Surabaya menjadi sentra dari semua koloni Arab di Indonesia.

Berlanjut hingga lebih mendalam lagi, artikel karya Prof. Purnawan Basundoro ini juga menjabarkan tentang bangsa Eropa yang dimana tentunya juga sudah ada dan mendominasi daerah kota Surabaya di periode kolonial. Mengikuti pendapat dari Clifford Geertz, selama ratusan tahun, orang-orang Jawa sudah menyaksikan orang-orang Eropa datang dan pergi di pulau Jawa. 

Orang-orang Eropa inilah yang sebagian lalu menjadi penghuni Kota Surabaya. Kisah kedatangan orang-orang Eropa di Kota Surabaya bisa dirunut jauh ke belakang, berbarengan dengan periode awal zaman penjelajahan mereka ke benua lain. Menurut Von Faber, para pedagang dari Portugis telah terlebih dahulu menemukan Surabaya apabila dibandingkan dengan para pedagang Belanda. 

Ketika seorang pedagang dari Belanda, Hendrik Brouwer, mengunjungi pantai Surabaya yang pertama kalinya pada tahun 1612, ia baertemu banyak pedagang dari Portugis yang sedang membeli rempah-rempah dari penduduk lokal. Selang beberapa tahun kemudian, kehadiran orang Portugis di daerah ini menurun. Hal ini disebabkan karena mereka kalah bersaing dengan para pedagang dari Belanda. 

Pada tahun 1617, Jan Pieterzon Coen dari Belanda, sukses mendirikan loji (loge) di pantai Surabaya. 

Loji itu menjadi simbol apabila Kota Surabaya pada titik tertentu sudah berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa. Keberadaan orang Eropa, terutama orang Belanda di Kota Surabaya, adalah tidak lain selain sebagai penjajah. Meskipun totalnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan etnis lainnya, namun mereka lebih berkuasa. 

Mereka merupakan aspek penentu akan arah kebijakan politik, ekonomi, dan sosial Kota Surabaya. Di periode tersebut, kota Surabaya sudah mencirikan sebagai kota kolonial, yang menurut Brenda Yeoh berisi masyarakat yang beraneka ragam, yakni penjajah, para pendatang (imigran) serta penduduk asli (Bumiputera).

Di pembahasan selanjutnya, dijelaskan tentang relasi antar etnis di kota Surabaya di zaman kolonial. Dimana pada masa tersebut hubungan masyarakat di kota kolonial bukanlah hubungan rasional yang sejajar. Seperti yang diketahui, orang-orang Eropa berupaya mempertahankan posisi mereka sebagai etnisitas yang berkuasa dengan memberlakukan politik etnisitas yang kaku. 

Hubungan antar etnik di Kota Surabaya, khususnya hubungan antara orang-orang kulit putih Eropa dengan penduduk lokal cukup unik. Dalam banyak kasus hubungan mereka murni dalam kerangka hubungan antara penjajah dan yang terjajah. 

Tentunya, apabila kita melihat kondisinya maka dapat dikatakan bahwa hubungan semacam ini bisa sangat menindas bagi yang terjajah. Meskipun demikian, pada waktu dan tempat yang berlainan hubungan mereka kadang-kadang dilandasi oleh motivasi kemanusiaan, yakni hubungan yang murni berdasarkan status sosial yang tidak dilandasi sentimen rasial. 

Apabila hubungan itu terjalin antara majikan yang Eropa dan buruh yang Indonesia, maka baik-buruknya hubungan itu hanya dapat dipandang melalui kelas sosial mereka yang berbeda dan bukan karena perbedaan ras diantara mereka. Pada tempat-tempat umum, hubungan antar etnis hampir-hampir tidak menjadi permasalahan, meskipun dalam pengertian yang terbatas. 

Pada tempat-tempat seperti kantor pos, stasiun kereta api dan bus, klinik, dan toko, atau di pasar-pasar, tidak ada satu pun pembatasan untuk mereka yang ingin berkunjung kesana dan mengurus kebutuhannya. Tetapi tidak dapat dipungkiri apabila ada juga tempat-tempat dan lembaga-lembaga tertentu yang memberlakukan kebijakan masuk selektif kepada orang Indonesia.

Simpang Club, contohnya, sebagai salah satu contoh dari White Men’s Territory di Surabaya. Sositeit ini adalah gedung pertemuan untuk berbagai aktivitas para warga yang berada, dan juga White Men’s Club yang  khas di Hindia Belanda. Merujuk pada opini Kwee Tiam Tjing, penduduk Bumiputera yang bisa dan boleh mengunjungi wilayah khusus untuk orang kulit hanyalah “jongos” yang bekerja sebagai pelayan di kawasan tersebut.

Kurang baiknya hubungan bukan hanya menyangkut antara golongan Eropa dengan Bumiputera saja. Pada kondisi tertentu hubungan antara sesama orang Eropa dengan latar belakang kebangsaan yang berbeda kaang-kadang juga memburuk. Orang Eropa yang tinggal di Kota Surabaya tidak hanya orang Belanda. 

Pada tahun 1930, jumlah orang Eropa non-Belanda terbanyak tinggal di Kota Surabaya pada masa itu adalah orang Jerman (840 orang). Hubungan orang-orang Belanda dengan orang-orang Jerman di Kota Surabaya memburuk saat tanggal 10 Mei 1940 Jerman membom Kota Rotterdam dan menduduki negeri Belanda.

Sikap dari orang-orang Belanda yang diskriminatif kepada etnis lain, disebabkan letak sosial dan politiknya yang istimewa, seringkali memancing reaksi negatif dari kelompok lain. Kelompok etnis yang merasa tidak nyaman dengan perilaku orang-orang Belanda lalu bersatu dan mengadakan perlawanan yang bersifat kebudayaan khas arek Suroboyo. 

Permasalahan antar suku juga tidak hanya bangsa Eropa saja dengan bangsa Eropa atau pribumi lainnya. Suku Arab di Kota Surabaya juga tidak jarang memperoleh label yang kurang baik, khusunya dari orang-orang Jawa dan orang-orang Madura. 

Orang-orang Arab selain diilustrasikan sebagai orang yang taat beragama (Islam), juga dipandang sebagai orang yang terkadang bertabiat buruk dalam menjalankan roda perekonomian. Berlanjut dari hal itulah, orang-orang Arab sering dituduh oleh masyarakat Bumiputera karena mempraktekkan riba dengan cara yang halus dan tidak ketara.

Di Surabaya, orang-orang Jawa nya adalah kelompok masyarakat yang paling lentur dalam berhubungan dengan etnis lain. Mereka mampu bekerja pada orang Belanda, meskipun pada waktu-waktu tertentu mampu bersekongkol dengan etnis lain untuk melawannya. 

Pada hal yang lain disebutkan apabila meskipun dalam banyak kajian tidak jarang diilustrasikan apabila orang Cina umumnya lebih dekat dengan orang Eropa, sebab mereka tidak jarang memperoleh profit, namun dalam kenyataan sehari-hari ternyata tidak seperti itu. 

Fenomena yang diilustrasikan di surat kabar tersebut memperlihatkan apabila orang Cina pernah bersengkokol dengan orang Bumiputera untuk memojokkan dan mengolok-olok orang Eropa. Hubungan antar etnis yang amat cair menjadi salah satu ciri masyarakat Kota Surabaya di periode kolonial. Hal ini memperlihatkan apabila mayoritas masyarakat kota Surabaya telah menjadi masyarakat industri yang jauh dari kebudayaan masyarakat feudal.

Dalam akhir penulisan, dapat kita nilai sebagai salah satu hal penting dalam melakukan review yakni penilaian. 

Pada kelebihannya, artikel karya Prof. Purnawan Basundoro ini memiliki tingkat penjelasan yang detail dan runut terkait dinamika penduduk serta hubungan antar etnis di kota Surabaya dan dilengkapi dengan data peneltian terdahulu serta juga tabel penjelas persebaran etnis penduduk kota Surabaya sehingga memberikan kemudahan kepada pembaca untuk membaca dan menangkap informasi yang terkandung dalam artikel ini. 

Pada kekurangannya, bisa dilihat dari kurangnya hal visualisasi seperti ilustrasi atau gambar untuk menggambarkan bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam ini dilihat kondisi dan situasi kota Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun