Matahari semakin bergulir. Kaki kecilku menyusuri pantai. Suara panggilan telepon genggamku yang sedari tadi berdering tak menghentikan langkahku. Debur ombak yang tenang senja ini membuatku nyaman. Saat ini pasti Letizia-ku sudah membaca suratku. Aku lega. Meski tak terucap dari bibirku, namun ia tahu isi hatiku selama ini.
Semua berakhir. Aku harus akhiri semua ini. Dingin air laut tak membuatku urung untuk beranjak semakin dalam, hanya diriku, tanpa membawa sedikitpun dari pinggir pantai. Hanya Aku dan cintaku untuk Letizia-ku. Sinar rembulan perlahan mulai mengganti matahari yang telah terbenam. Aku menikmati setitik itu. Hingga ke dasar… Aku lemah saat ini. Mengutuki diriku sendiri. Mengutuki cinta yang Dia anugerahkan padaku.
Debur ombak mengalahkan debar cintaku padanya.
* * *
Letizia menunggu kedatangan sahabatnya sejak dua jam yang lalu. Berkali-kali jam tangannya dengan sombong terus berputar, sepertinya lebih cepat. Diandra masih dalam perjalanan. Ini kali pertama mereka akan bertemu, sekaligus membicarakan masalah pernikahan seperti yang sudah mereka sepakati beberapa waktu yang lalu.
Telpon genggam Letizia tidak pernah berhenti beraktifitas. Dengan gelisah, Letizia mencoba terus menghubungi sahabatnya itu. Tidak mungkin berhasil…pikirnya. Dengan tergesa-gesa, Letizia membuka pintu rumahnya ketika bell berbunyi. Seorang pria berkulit putih berdiri membelakanginya.
“ Diandra?”
Pria itu membalikan badan, “ Mbak, ada titipan. Tolong tanda terimanya di sini”
Letizia menerima bungkusan yang diantar oleh jasa kurir dengan hati yang bertanya-tanya. Tidak ada nama pengirimnya. Setelah menandatangani dokumen, Letizia langsung masuk dan duduk di sofa biru kesayangannya.
Sebuah kotak. Masih dengan wajah bingung, Letizia membuka kotak yang terbungkus rapih itu. Kupu-kupu biru. Sebuah Liontin kupu-kupu dari batu Aquamarine. Letizia terpana. Ada sebuah surat di situ. Dengan perlahan diletakkan liontin itu di sisi kanannya. Tangannya meraih surat berwarna biru muda itu.
13 Oktober 2009