Mohon tunggu...
Rina Sulistiyoningsih
Rina Sulistiyoningsih Mohon Tunggu... -

Seorang Wanita Biasa, campuran Jawa dan Padang... Lahir di Sentani, Irian jaya..menghabiskan masa sekolah di Pontianak lalu lanjooot ke Malang..Sekarang lagi menikmati kesuksesan hidup... menyusuri setapak...sesekali menoleh kanankiri, berhenti sesaat di persimpangan, tak ingin larut dalam titik beku.... menatap masa depan dan meraih impian.... Wanita Single yang 'gila kerja' sampe lupa mandi hehehe... suka menulis puisi dan cerpen sejak bergabung dengan www.kemudian.com dua tahun yang lalu dan bercita-cita ingin punya buku sendiri.... semoga....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cinta yang Terbenam - Sebuah Cerpen

16 Juni 2010   14:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lelaki ke tigabelas. Hanya dapat kulihat di benakku. Seperti apa rupanya masih kabur. Diandra, hanya nama itu yang lengket di ingatanku. Wanitaku yang cantik itu hanya bertemu lewat sebuah jejaring sosial. Bertatap hanya lewat webcam. Setidaknya itu yang ia ceritakan di sore yang mendung itu.

Diandra melamarnya. Jarak mereka memang jauh. Namun bermil-mil serasa hanya sesenti di depan. Bukan kali pertama ia dilamar dan bukan kali pertama juga kisah itu keluar masuk di kupingku. Kadang-kadang agak jengah juga. Klise. Cerita bahagia berakhir duka. Ya, aku hanya tempat sampah untuknya. Walaupun ingin sekali berbagi kisahku dengannya. Tapi cukuplah kupendam sendiri. Wanita cantik itu sudah cukup tertekan dengan semua yang ia alami. Letizia-ku malang.

Tentang Diandra, lelaki yang muncul saat Letizia-ku nyaris tak percaya lagi untuk membuka lembaran baru. Tidak ingin dicinta dan mencintai lagi…itu katakatanya yang selalu kukenang sejak pria yang kesepuluh mencampakannya demi wanita lain.Tapi tetap bergulir hingga sekarang ke tigabelas. Lagi-lagi kisah klise. Tak sedikitpun rona kebahagiaan kulihat di wajahnya saat cerita Diandra mengalir dari bibirnya. Hanya penyesalan. Entah kenapa. Bukankah itu sudah terjadi berkalikali. “Jatuh Cinta” lewat kata-kata yang terlontar lewat maya, bukan hal biasa bagi Letizia-ku. Akupun pernah mengalaminya. Tapi tak se-extreme ini.

Aku sedih mendengar bahwa sebentar lagi ia akan mengakhiri masa lajangnya. Meski aku tahu, bukan itu yang diinginkan wanita yang paling cantik yang kukenal ini. Pernah suatu hari ia berkata tak ada yang lebih nikmat selain kesendirian. Tapi entah kenapa sebenarnya ia tak bisa sendiri. Tak bisa berteman sepi. Selalu mencari celah untuk bergantung pada sesuatu yang ramai. Wanita cantik itu hanya butuh ditemani. Siapapun orang yang mau di sampingnya.

Malangnya Diandra. Kalau saja aku bisa berbicara dengan lelaki itu. Tapi aku tak tahu siapa dia. Letizia-ku tak boleh bersamanya. Hanya akan membuat ia semakin terpuruk. Sejak dikhianati Malam, cinta sejatinya dulu, ia berjanji untuk tidak jatuh cinta sepenuh kepada siapapun yang datang menghampirinya. Itu sebabnya ia memilih “berpacaran” dengan seseorang yang tidak dekat dengannya. Tidak dekat dalam segala hal. Terlebih jarak. Agar tak terlalu sakit. Atau menyakiti. Nyatanya tetap sakit.

Aku tak mau ada yang sakit. Tidak pada lelaki itu, juga pada Letizia-ku yang cantik dan selalu membuat aku bergetar setiap tatap matanya memandangku, dalam kondisi apapun, entah itu binar kebahagiaan akan kisahnya yang penuh sukacita atau justru pada saat air matanya mulai menetes karena dukalara yang ia pendam. Terlebih aku tidak mau menyakiti hatiku lagi.

Aku harus jujur pada Letizia-ku yang cantik. Aku akan bahagia jika Letizia-ku benar-benar menerima Diandra karena memang itu pendampingnya yang sepadan dan memang sesuai kehendakNya. Bukan karena terpaksa akan umur dan tuntutan dari keluarga besarnya yang memang menginginkan Letizia-ku mengakhiri masa lajangnya. Bukan. Bukan karena alasan apapun.

Ah aku memang tak bisa menerima alasan apapun. Aku tersiksa dengan semua ini. Seharusnya sudah kukatakan sejak dulu. Bahwa aku juga ingin menjadi bagian dari hidupnya. Bukan sebagai seseorang yang hanya menemani disaat Letizia-ku yang cantik sedang ingin berbagi saja. Aku ingin menjadi segalanya bagi Letizia-ku. Hanya itu.

Sejak sore itu, aku semakin tidak menentu. Ah… andai saja aku memiliki keberanian, sedikit saja. Sedikit. Bukannya mematung seperti hari ini. Suaranya yang baru saja kudengar seakan tak mau pergi. Selalu terngiang-ngiang.

Pertengahan bulan ini, Diandra datang. Untuk pertama kalinya. Aku akan bertemu dengan seorang lelaki yang akan menjadi suamiku…kau ikut yah, …menguatkan aku…

Masih sama. Tak ada aura bahagia dibalik suara lembutnya. Tapi aku tahu ada penyesalan di sana. Ah bodohnya aku. Andai kau tahu Letizia, aku takkan sanggup menguatkanmu. Aku akan gontai saat itu, layu seperti rumput yang kekeringan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun