Perjalanan cintaku sesungguhnya seperti kisahnya. Silih berganti datang dan pergi. Meninggalkan luka yang seharusnya tak ada. Umur dan tuntutan itupun yang membuatku bergidik. Kadang-kadang asal comot sekedar membuat keluarga lega karena aku bergandeng. Tapi tak secerah hidup Letizia-ku. Tak seindah sinar fajar yang selalu ia banggakan itu, juga tak menarik seperti warna pelangi yang katanya jelmaan bidadari, salah satunya ia, yang nyasar di bumi. Tidak…tidak ada yang boleh mengintip kesedihanku. Tidak juga saat ini. Saat aku menyesali diriku yang bodoh. Yang tak bisa berbuat satupun.
Saat ini aku hanya ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri bahwa semua itu hanya purapura. Bahwa takkan ada pernikahan dengan Diandra. Bawa semua ini hanya mimpi dan ketakutanku belaka. Aku memohon hari ini. Kesempatan untuk menjadi yang terakhir itu jatuh kepadaku.
Aku ingin berlari menemuinya, Letizia-ku yang cantik. Aku ingin membebaskan rasa yang selalu memenjarakan aku sejak bertahun-tahun lamanya aku mengenalnya. Aku tak sanggup lagi mengandangkan segala ucapan nuraniku.
Aku tahu takkan pantas bersanding dengannya. Wanita itu begitu cantik, Letizia-ku yang anggun. Aku mengaguminya. Segala kemandiriannya. Itu yang membangkitkan gairahku. Aku tidak butuh orang lain untuk menggali hasratku. Aku hanya butuh Letizia-ku. Dan tentu yang ia hanya butuh aku seutuhnya. Aku yang selalu ada untuknya. Mengapa ia tak pernah menyadarinya?. Aku bertumbuh dewasa bersamanya, namun ia terasa sangat jauh diatasku. Tidak… ia hanya sejauh lantunan doadoa malamku. Yang kupanjatkan pada Dia yang telah mempertemukan aku dengannya. Doa yang dari nafasku. Yang selalu terlayangkan hanya untuk Letizia-ku.
Aku telah berjanji pada malam, untuknya. Malam yang selalu dinanti bersama, bukan Malam, cinta sejatinya yang mencampakkan ia dahulu. Tapi malam yang bertabur doadoa dari nafas aku dan ia yang beradu di bawah bintangbintang gemerlap.Aku telah berjanji takkan lagi membuatnya melipat sedih dan menaruhnya di bawah bantal buluangsanya yang lembut biar kusulam pedihnya kuganti dengan sukacita. Aku takkan membiarkannya sendiri.. Aku akan selalu menjaganya. Berikan aku kesempatan untuk menepati janjiku. Hanya pada Letizia-ku yang cantik.
* * *
Senja semakin menjingga. Di sini, di pesisir ini kembali aku melepas semua rasa rinduku pada Letizia-ku. Aku memang manusia yang bodoh. Aku tak bisa mendampinginya menemui Diandra. Aku tak bisa menguatkannya. Siapa yang akan menguatkan aku.
Rinai ini mengingatkanku lagi akan Letizia-ku. Aku pernah bermandikan kesegaran rinai bersamanya di pesisir ini. Yang telah lama ialupakan. Mungkin memang tak sedikitpun ia ingat kisahkisah itu. Terlalu kecil… sekecil butir pasir yang ku genggam ini. Butir yang halus.
Semilir angin kuharap menghantarkan gumamku ini. Aku masih berharap menjadi pendampingnya yang ke empatbelas. Yang terakhir. Namun aku tahu itu takkan terjadi. Aku hanya bisa mencintainya. Akhirnya kuakui. Aku mencintainya. Hanya Letizia yang ingin kurengkuh saat ini dan selamanya. Namun kenyataan memang selalu kejam.
Aku terlahir sama sepertimu. Penuh kisah kasih akan kehidupan. Terlalu banyak cinta justru akan membuat aku semakin terluka. Janji yang sebenarnya juga pernah aku ikrarkan dulu di sini, di pesisir ini. Bahwa aku dan ia akan selalu bersama. Memang tak kusadari sejak saat itulah aku jatuh hati padanya. Sangat jatuh hati pada usia beliaku. Usia belia kita berdua.
Janji itu selalu ingin kutepati. Tapi lagilagi aku takkuasa. Tak semudah aku katakan I Love You pada mereka-mereka yang datang dan pergi. Tak semudah itu. Bahkan tak semudah ia katakan Yes I Do saat Diandra melamarnya untuk jadi mempelai yang cantik.
Aku memang bodoh. Mencintai wanita sepertinya. Terlalu tinggi aku berharap.