Mohon tunggu...
Hans Kaiwai
Hans Kaiwai Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Senang mengkaji masalah ekonomi dan regulasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Desain Baru Pajak Daerah dan Retribusi Menurut UU HKPD

6 April 2023   23:30 Diperbarui: 6 April 2023   23:32 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini pemerintah daerah---provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia---diberi batas waktu paling lambat 5 Januari 2024 untuk menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan PDRD di daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 94 UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

UU HKPD yang diundangakan pada tanggal 5 Januari 2022 ini mencabut dua UU sekaligus, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), dan juga mencabut beberapa pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam UU HKPD, penguatan kapasitas fiskal daerah menjadi salah satu pilar penting. Dimana hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah---provinsi dan kabupaten/kota---dapat menggarap potensi penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sehingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Karena selama ini ada sejumlah daerah mempunyai potensi besar, namun belum banyak dapat direalisasikan untuk meningkatkan PAD. Rasio PDRD terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) masih rendah sebesar 1,23 persen. Elastisitas PDRD terhadap PDRB kurang dari 1 atau inelastis, artinya masih ada potensi PDRD yang belum digarap secara optimal untuk meningkatkan PAD. 

Desain baru pengaturan perpajakan daerah  dalam UU HKPD dilaksanakan untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah dengan tetap menjaga perekonomian daerah dalam 3 (tiga) hal, yaitu mengurangi biaya administrasi pemungutan, memperluas basis pajak, dan mengharmonisasikan regulasi. 

Mengurangi Biaya Administrasi

Upaya mengurangi biaya administrasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan melalui penyederhanaan struktur pajak daerah dan rasionalisasi jenis retribusi daerah.

Struktur pajak daerah dari 16 (enam belas) jenis dalam UU PDRD disederhanakan menjadi 14 (empat belas) jenis pajak daerah dalam UU HKPD. Pajak daerah berbasis konsumsi yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota---Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Parkir---diintegrasikan menjadi satu jenis pajak yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 42 UU HKPD, PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.

Selanjutnya dalam Pasal 50 UU HKPD diatur bahwa Objek PJBT merupakan penjualan, penyerahan, dan atau/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan. Sedangkan Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa.

Penyerdahanan ini dilakukan tanpa mengurangi potensi pajak dan membebani wajib pajak PBJT---orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu.  

Integrasi beberapa jenis pajak dalam satu jenis pajak bertujuan mempermudah administrasi pembayaran dan pelaporan wajib pajak, dan juga meningkatkan efisiensi layanan perpajakan dan pengawasan dari pemerintah daerah sehingga adanya optimalisasi pemungutan pajak daerah.

Selain penyederhanaan struktur pajak daerah juga dilakukan rasionalisasi jenis retribusi daerah dari 32 jenis retribusi dalam UU PDRD menjadi 18 (delapan belas) jenis retribusi daerah dalam UU HKPD. Jenis retribusi jasa umum, misalnya, yang sebelumnya sebanyak 14 (empat) jenis dirasionalisasi menjadi  5 (lima) jenis retribusi daerah.

Pelayanan jasa umum yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk pembuatan dokumen-dokumen seperti biaya cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil digratiskan. Juga dihapuskan retribusi pemakaman dan pengabuan mayat, retribusi pengujian kendaraan bermotor, retribusi pelayanan tera/tera ulang dan jenis retribusi lain yang merupakan layanan pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh layanan umum.

Dengan demikian jenis retribusi yang tersisa dalam kelompok jenis retribusi jasa umum adalah pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, pelayanan parkir di tepi jalan umum, dan pengendalian lalulintas. Itupun ada ketentuan dalam Pasal 88 ayat (2) UU HKPD, bahwa jenis pelayanan tersebut dapat tidak dipungut retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan secara cuma-cuma.

Selanjutnya dalam kelompok jenis retribusi perizinan tertentu yang dalam UU PDRB sebanyak 5 (lima) jenis dirasionalisasi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu persetujuan bangunan gedung, penggunaan tenaga kerja asing, dan pengelolaan pertambangan rakyat. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, retribusi izin gangguan, retribusi izin trayek, dan retribusi usaha perikanan dihapus.

Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol yang sebelumnya dipungut dalam kelompok jenis retribusi perizinan tertentu dihapuskan. Jenis retribusi ini dihapuskan karena penjualan makanan/minuman termasuk minuman beralkohol sudah termuat dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT).

Sedangkan jenis retribusi pengelolaan pertambangan rakyat merupakan jenis retribusi yang baru ditambahkan dalam kelompok jenis retribusi perizinan tertentu. Dimana berdasarkan ketentuan dalam Pasal 88 ayat (7) UU HKPD diatur bahwa "retribusi pengelolaan pertambangan rakyat merupakan pungutan daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh pemerintah daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara."

Rasionalisasi retribusi daerah dilakukan dalam rangka efisiensi pelayanan publik di daerah, mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha, namun tetap menjaga penerimaan PAD bagi pemerintah daerah.

Memperluas Basis Pajak

UU HKPD juga memperkenalkan skema pajak tambahan (opsen pajak) dan melakukan sinergitas pajak pusat dan daerah untuk memperluas basis pajak.

UU PDRD tidak mengatur tentang opsen, tetapi dalam UU HKPD opsen diatur. Sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 61 UU HKPD, bahwa opsen didefinsikan sebagai "pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu."

Opsen dikenakan atas pajak terutang dari pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaan bermotor (BBNKB), dan pajak mineral bukan logam (pajak MBLB). Wajib pajak untuk opsen merupakan wajib pajak atas jenis pajak PKB, BBNKB, dan pajak MBLB.

Opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan opsen pajak MBLB adalah opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Skema opsen pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota sebagai penggantian skema bagi hasil dan penyesuaian kewenangan. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Opsen MBLB merupakan sumber penerimaan baru bagi provinsi.

Disamping memperluas basis pajak melalui pengenalan skema opsion yang telah diuraikan di atas, UU HKPD juga memperluas objek pajak melalui sinergitas pajak pusat dan pajak daerah.

Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) mengatur perluasan objek pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).

Di dalam UU PDRB tidak membahas tentang parkir, tetapi di dalam UU HKPD diatur jasa parkir dalam PBJT. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) mengatur jasa parkir meliputi: penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet). Jadi ayat ini memperjelas wajib pajak atas pajak yang harus dibayarkan atas jasa parkir di luar badan jalan.

Selain itu, di dalam UU PDRD, jasa sewa apartemen, kondomium dan sejenisnya, dikecualikan dari objek pajak hotel, tetapi di dalam UU HKPD, jasa sewa apartemen, kondomium dan sejenisnya tidak dikecualikan. Hilangnya objek pajak apartemen dalam pengecualian objek pajak hotel tentunya akan memperluas basis pajak dan berpotensi meningkatkan peneriman pajak daerah mengingat bisnis sewa rumah hunian akan bertumbuh dan menjadi potensi pajak bagi pemerintah daerah.

UU HKPD juga memperluas basis pajak jasa kesenian dan hiburan. Dalam pajak jasa kesenian dan hiburan telah ditambahkan pajak terhadap objek rekreasi (waterboom, water park), wahana ekologi (ecopark) dan bentuk rekreasi lainnya yang sejenis, objek olahraga permainan (persewaan sarana dan prasarana olahraga), sehingga keberadaan penambahan objek ini selain memperjelas status pajak dari objek yang disebut tadi juga menambah sumber penerimaan PAD dari sektor pajak daerah.

Mengharmonisasikan Regulasi

UU HKPD tidak hanya mencabut UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tetapi juga menindaklanjuti sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD), menyingkronkan kewenangan pemerintah dan provinsi dan kabupaten/kota dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 3 Tahun 2020.

Selama pemberlakukan UU Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD) telah ada 3 (tiga) kali uji materi oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, uji materi Penjelasan Pasal 124 yang diajukan oleh PT. Kame Komunikasi Indonesia terkait penetapan tarif retribusi menara komunikasi yang tidak didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tetapi pemerintah daerah mematok tarif 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak. Kedua, uji materi Pasal 1 angka 13 yang diajukan oleh PT. Tunas Jaya Pratama, PT. Mappasinda, dan PT. Gunungbayaou Pratamacoal terkait alat berat dalam kategori sebagai kendaraan bermotor. Ketiga, uji materi Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) terkait pajak penerangan jalan bagi pemasok listrik sendiri oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

Untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017 yang memutuskan perkara alat-alat berat bukan kendaraan bermotor yang dapat dikenaik pajak kendaraan bermotor (PKB), UU HKPD memperkenalkan pajak alat berat, yaitu pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.

Batasan pengertian alat berat menurut UU HKPD adalah sebagai "alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan."

Dengan demikian pajak alat berat merupakan jenis pajak baru yang ditambahkan pada struktur jenis pajak daerah yang dipungut dan menjadi salah satu sumber PAD bagi pemerintah daerah provinsi.

Disamping itu untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017 terkait perkara pajak penerangan jalan, yang memutuskan bahwa pengenaan pajak penerangan jalan bagi pemasok sendiri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, maka UU HKPD memasukan komponen konsumsi tenaga listrik dalam objek PBJT. Dimana konsumsi tenaga listrik adalah pengguna tenaga listrik oleh pengguna akhir.

Disamping menindaklanjuti Keputusan Mahkamah Konstitusi, UU HKPD juga menyingkronkan kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai UU Pemerintahan Daerah, dan UU Mineral dan Batu Bara.

UU HKPD memberikan kewenangan pemungutan opsen pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Penambahan opsen pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penertiban izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah.

Pengaturan perubahan perpajakan daerah dalam UU HKPD sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah (pusat) yang ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah (local taxing power) dan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) untuk menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah.

Oleh karena itu pemerintah daerah---provinsi dan kabupaten/kota---perlu secepatnya memanfaatkan kewenangan atau hak memungut pajak dan pungutan memaksa lainnya (retribusi dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah) sebagai bagian dari upaya peningkatan PAD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun