Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Peran Negara dalam Mengelola Intoleransi dan Ekstremisme

17 Mei 2018   22:56 Diperbarui: 17 Mei 2018   23:44 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun Peran Lintas Sektor

Mengatasi persoalan yang diuraikan di atas, dalam tulisan ini, saya menganjurkan dibangunnya peran linta sektor antara lain: Pertama, penguatan nasionalisme negara. Dalam pengertian ini, setiap warga negara hendaknya mengidentifikasikan dirinya sebagai citizenship daripada sekadar anggota kelompok tertentu (komunitarian primordial). Studi tentang nasionalisme dalam pemahaman Benedict Anderson sebagai, an imagined political community---and imagined as both inherently limited and sovereign (Benedict Anderson, 2003: 6) memiliki keterbatasan serius terutama karena mengabaikan peran agama (Jeremy Menchik, 2014: 596). 

Sebaliknya, Indonesia yang berlandaskan Pancasila menegaskan bahwa negara tersebut sangat istimewa karena sekaligus bukan negara sekuler dan bukan teokrasi. Dengan demikian, dalam mengelola kemajemukan agama, pemerintah Indonesia hendaknya tidak melulu mengendepankan konsep "kerukunan antarumat beragama" yang menganggap bahwa pemeluk setiap agama hidup dalam keharmonisan. Secara formal, konsep itu berarti mengelola keharmonisan diantara pemeluk agama, dan bukan perbedaan agama itu sendiri. Di sini, ada perbedaan mendasar antara kerukunan antarumat beragama dan kerukunan agama di mana yang terakhir sering dianggap puny arti bahwa "semua agama pada dasarnya sama".

Kedua, memanfaatkan peran istimewa dari pemimpin semua stakeholders, seperti pemimpin keagamaan, para pejabat publik, para penegak hukum, para pendidik, dan tokoh masyarakat, dalam rangka mempromosikan kebenaran, respek, dan interaksi sosial yang positif. Dalam kaitannya dengan hal ini, saya mengapresiasi adanya kampanye literasi digital kontra-ekstremisme. 

Mengenai hal itu, hasil Survei yang dipublikasikan Indeks (Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial) menunjukkan bahwa generasi muda adalah kelompok penduduk yang paling banyak menggunakan internet. Survei ini dilakukan oleh Asosiasi Penyelnggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang menemukan 75,5% pengguna internet pada tahun 2016 berusia 10-24 tahun. Merespon hal itu, dilakukan kampanye digital bertajuk "Pengarusutamaan Kampanye Narasi Kontra-Terorisme Berbasis Literasi Digital" yang dilaksanankan berkat kerja sama Indeks dan situs media digital "Qureta" (www.qureta.com).

Ketiga, mengedukasi para stakeholders dengan informasi yang mereka butuhkan untuk menjadi seorang warga negara yang sadar untuk mendedikasikan dirinya bagi keamanan publik (Hedieh Mirahmadi, 2016: 137). Hal ini penting dicatat bahwa jangkauan dari kolaborasi tersebut tidak terbatas hanya pada memerangi terorisme melainkan merespon aneka kebutuhan dari setiap daerah. 

Maksudnya, tanpa terjebak pada kecenderungan memerangi simtom tetapi lupa para akar persoalan, tindakan paling tepat adalah mengatasi penyebab pertama dari segala penyebab lain dari intoleransi yakni kurang adanya pemahaman tentang yang lain. Oleh karena itu, memberikan pemahaman yang tepat mengenai "entitas yang lain" mengantar orang pada pemahaman yang lebih menyeluruh dan lengkap mengenai bagaimana hidup dalam perbedaan.

Keempat, dialog akademis antara agama dan negara. Salah satu jalan keluar yang sudah selalu diupayakan dan harus terus menerus dilakukan adalah melibatkan agama di dalam diskursus ilmiah dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Mendepak agama dari wilayah rasionalitas berarti membawanya ke dunia irasional, dan di dalam dunia yang irasional ini agama menjadi kekuatan dan kekuasaan yang tak terkontrol. Sebagai wadah ekspresi seluruh diri manusia, agama mengandung kekuatan yang sangat besar. Kekuatan ini dapat menjadi destruktif, kalau tidak dikontrol. 

Keyakinan yang sama sudah pernah disampaikan Benediktus XVI ketika masih sebagai Kardinal Ratzinger. Dalam sebuah diskusi dengan Jrgen Habermas di Mnchen pada tanggal 19 Januari 2004, Razinger menyampaikan keyakinannya bahwa kontrol akal budi atas agama menjadi satu hal yang mendesak untuk dapat menanggapi terorisme yang disebutnya sebagai "penyakit baru umat manusia" (Budi Kleden, 2008).Tanpa kontrol ini, agama dapat menjadi satu kekuatan arkais dan berbahaya yang membangun universalisme yang salah dan dengan demikian mengantar kepada intoleransi dan teror. Supaya agama sungguh menjadi kekuatan yanag menyembuhkan dan menyelamatkan, maka dia pun harus ditempatkan dalam bingkai universalisme kemanusiaan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Kelima, studi legislasi. Pentingnya studi legislasi bagi para legislator mengingat banyaknya produk undang-undang yang dihasilkan tidak luput dari pelbagai jenis bias dan tidak jarang menimbulkan aksi intoleransi dan ekstremisme di kalangan masyarakat. Sekadar saran, pemerintah hendaknya membangun kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia untuk mewujudkan rencana tersebut di atas. Tanpa bermaksud menciderai nilai representatif dari sistem demokrasi karena mengintervensi legislator, pihak universitas yang terlibat di dalam proyek ini hendaknya menjaga keseimbangan relasi (antara rakyat dan pemerintah) sebagai mediator intelektual tanpa terkesan merampas peran konstitutif rakyat sebagai pemilih dan legislator sebagai yang dipilih.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun