Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Peran Negara dalam Mengelola Intoleransi dan Ekstremisme

17 Mei 2018   22:56 Diperbarui: 17 Mei 2018   23:44 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Pendekatan Terpadu Lintas Sektor)

Menempatkan negara sebagai satu-satunya subjek yang mesti bertanggung jawab penuh dalam mengatasi fenomena intoleransi dan ekstremisme justru menjauhkan kita dari persoalan yang sebenarnya yaitu mencegahnya. Untuk memudahkan analisis terhadap persoalan termaksud, digunakan pendekatan multikulturalisme dan demokrasi. 

Meskipun dua tema besar itu sulit diringkus dalam esai singkat ini, namun sekurang-kurangnya pembaca bisa menemukan benang merah yang menghubungkan pelbagai faktor penyebabnya. Sekurang-kurangnya, dalam esai ini, saya ingin menunjukkan bahwa selama ini kita gagal membedakan antara masyarakat multikultural dan kebijakan multikultural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Cantle, 2016: 471). Oleh karena itu, tulisan ini fokus pada upaya bagaimana mengatasi persoalan di atas yang dijalankan secara bersama-sama lintas sektor baik dari segi implementasi kebijakan maupun dari segi sikap hidup masyarakat yang multikultural.

Faktum Pluralitas dan Multikulturalisme

Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan, tidak bisa dielak, karena sifatnya kodrati seperti gender, ras, etnisitas. Sementara itu, multikulturalisme mengacu pada sikap etis yang berintikan penghargaan terhadap kebudayaan dan pandangan hidup yang berbeda-beda sambil terus mendorong dialog dan kerja sama yang produktif antara elemen-elemen yang berbeda dan beranekaragam tersebut (Steven Best and Douglas Kellner, 2003:186-188; Suseno, 2005: 223-227). 

Sebagai masyarakat yang berkembang menuju pluralitas yang semakin kompleks, pertanyaan yang dibutuhkan bukan lagi "how to live with, but in difference". Itu berarti, pendekatan yang digunakan bukan lagi pluralisme yang menekankan kesetaraan dari pelbagai faktum "perbedaan" tetapi pada bagaimana "mengakui" entitas yang berbeda itu. Nah, di sinilah pendekatan multikulturalisme diperkenalkan.

Ketika berbicara tentang multikulturalisme, asosiasi orang diantar pada sebuah entitas yang lebih mendalam dari sekadar pluralitas. Maksudnya, multikulturalisme menyajikan sebuah kondisi yang lebih humanis. Meskipun demikian, multikulturalisme memiliki keterbatasan epistemologis seperti yang ucapkan Ted Cantle dalam sebuah diskusi bertajuk "How To Live Together in Diversity" yang diselenggarakan oleh the Migration, Identity and the State (MIS) Research Cluster within the Human Geography Research Group di Loughborough University 25 Maret 2015. 

Menurut Cantle, multikulturalisme salah kaprah karena bekerja dengan ide bahwa kebudayaan sebagai sebuah entitas yang rigid dan tidak berubah alias fixed, ketika dunia lama telah menjadi kompleks dan silang sengkarut (Marco Antonisch, 2016: 470). Dengan demikian, untuk mengatasi keterbatasan termaksud, multikulturalisme hendaknya mengandung sekaligus sebagai teori dan rangkaian kebijakan.

Pluralitas dan Ekstremisme

Samuel Huntington dalam artikelnya, "The Changing Security Environment and American National Interest" menulis, The war of kings were over; the wars of people had begun (Huntington, 1993: 22). Dengan kata lain, ramalan Huntington boleh jadi benar ketika di mana-mana kita menyaksikan pelbagai fenomena intoleransi dan ekstremisme yang lahir dari kelompok-kelompok masyarakat---bukan dari kelas penguasa (Olin Institute's Project, 1993: 22). 

Tentu saja, kemajuan kontemporer modernisasi dan globalisasi secara aktif menyumbang pada berkembangnya masalah-masalah etnisitas dikaitkan dengan kemunculan kembali persoalan komunitarian secara signifikan. Hal itu luput dari cara pandang multikulturalisme yang sering mengabaikan semua bentuk lain dari perbedaan gender, disabilitas, orientasi seksual, sectarian dan perbedaan keyakinan, kesehatan mental, konflik usia dan antargenerasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun