Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsafat Estetika: Kegelisahan Strukturalisme

16 September 2017   14:02 Diperbarui: 16 September 2017   16:12 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puisi merupakan representasi unik dari realitas atau konteks tertentu. Terdapat sebuah pengandaian di mana seorang mencoba mengaitkan realitas dalam dirinya dengan realitas di luar dirinya sebagai sebuah kemanusiaan yang universal bergaya abstrak. Begitu pun sebaliknya berusaha mengaitkan realitas di luar dirinya yang non abstrak dengan alam pikirannya yang religius-filosofis bergaya abstrak (Tirtawirya, 1987: 23).

Puisi eksistensialis Sapardji dipandang sebagai persoalan filsafat eksistensialisme di mana tesis dasar selalu dengan "Eksistensi mendahului esensi". Artinya, manusia dihadapkan pada fakta fisis yang buram dan mengada dalam ruang dan waktu secara serentak, eksistensi (Stanton, 2007: 137). 

Manusia tidak memiliki cara untuk memahami makna, maksud, dan sifat-sifat hakiki (esensi) dari apa yang dihadapinya itu. Observasi Sapardji yang mendetai tentang eksistensialisme membawa penyair tersebut pada suasana 'kebebasan manusia' dalam memahami dirinya entah dalam kebebasan yang total, sepenuhnya bertanggung jawab atasnya, terisolasi, ketidakjelasan identitas, maupun kegagalan esensinya sendiri.

cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah

meraung, tersedan, tatu terisak,

meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;

barangkali ia hanya bisa bertanya:

mengapa kau seperti kehabisan suara?

(Sajak "Cermin")

Pada dasarnya fiksi eksistensialis memperluas topik bahasannya pada keterisolasian dan keburaman atau absurditas dunia. Karya-karya Dostoyevsky, Kafka, maupun Hemingway ataupun Nauseanya Jean Paul Starte (Stanton, 2007: 138) patut ditelaah dalam konteks ini. Sapardji agaknya berhasil merekam riak tersebut dalam gayanya yang beraroma naturalisme, yakni adanya afirmasi penyair atas nativitas (sikap kekanakan yang polos, jujur dan transparan).

Sapardji secara gamblang mengulas eksistensi dan esensi manusia ketika berhadapan dengan idealismenya tentang sesuatu yang ideal. Relasi internal tersebut menghantar manusia pada keterhempasan identitas atau pun dalam bahasnya penyair Solo tersebut hanya 'sekedar bayang-bayang'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun