Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Tuhan Mati di Biara?

10 Juli 2017   03:44 Diperbarui: 11 Juli 2017   00:30 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Pengamatan jeli atas fenomena kehidupan manusia yang serba biasa juga ditunjukkan Hans dalam cerpen "Hostia", "Bentuk tubuhku tidak begitu menarik disebut sebagai makanan pemuas rasa lapar. Bulat. Tipis. Terbuat dari gandum dengan campuran sedikit garam dan gula. Tempat tinggalku bukan di rumah-rumah mewah atau di hotel berbintang... Orang-orang menyebut rumahku, tabernakel dan sibori sebagai nama kamarku" (Hans Hayon, Ibid., p. 43-44).

Menilai

 Organisasi atau kerangka buku "Tuhan Mati di Biara" disusun sedemikian rupa sehingga tema dasar kematian bisa diteropong dari pelbagai sisi. Judul cerita "Tuhan Mati di Biara" sendiri ditempatkan sebagai bab akhir bagian pertama sekaligus bab awal pada bagian kedua. Akan tetapi, secara keseluruhan judul cerita itu berada di tengah sebagai pusat buku. Dalam judul "Tuhan Mati di Biara" semua tema karangan termaktub: agama, cinta, iman, politik, adat istiadat. Dan semuanya mengarah pada satu aksis yang sama: kematian.

 Dengan organisasi karangan seperti itu, kualitas isi buku bisa dipertanggungjawabkan. Kemampuan berbahasa Hans sangat mumpuni. Dengan struktur kalimat yang pendek, bahasa Hans tampak padat dan berisi. Tidak ada kata-kata atau kalimat yang sia-sia. Hubungan antarkalimat pun jelas, walau menuntut pembaca untuk memeras otak menafsir makna analogi dan simbolisme yang digunakan. Kata-kata yang digunakan pada umumnya selected. Dengan pilihan kata yang segar, budi pembaca betul-betul dimanja. Di ujung pena Hans, dunia yang keras dan absurd ini berubah menjadi sangat damai, halus, memikat tetapi juga penuh gugatan. Itulah alasannya mengapa dunia selalu haus akan kehadiran para pencerita. Atau seperti disimpulkan Paul Budi Kleden, "akan betapa miskinnya dunia tanpa gagasan, ketiadaan cerita" (Hans Hayon, Ibid., p. xxxviii).

 Hal Lain yang Juga Memikat

 Wajah buku "Tuhan Mati di Biara" memang lain dari yang lain. Wajah buku semacam itu hanya mungkin lahir dari tangan lay outer dengan jiwa yang lepas bebas dan tidak antipati pada semangat pemberontakan. Hans menyebutnya, tampil agak nakal. Dan ia suka.

 Sampul buku memang berwarna kuning gading. Dan potret seorang gadis yang sedang tersenyum pada tepi halaman depan buku, mungkin Sisilia, gadis yang kepadanya Hans jatuh cinta dan patah hati berulang-ulang, juga berwarna kuning gading. Akan tetapi, entah disengaja atau tidak, warna dominan buku itu adalah hitam, sebuah komposisi warna yang amat karib dengan kematian. Pada lembaran awal buku, judul "Tuhan Mati di Biara" ditulis dengan tinta putih, tetapi di atas latar belakang kertas hitam pekat. Hitam total. Kematian, sebuah absurditas. Seperti Shisipus dalam legenda Yunani Kuno yang melakukan pekerjaan sia-sia berulangkali: mendorong sebuah batu besar dari dasar jurang menuju sebuah puncak bukit untuk kemudian jatuh kembali ke dasar, seterusnya kekal seperti itu.

 Cover buku menampilkan gambar seorang lelaki dewasa yang sedang berjalan merunduk menyusuri entah pantai atau mungkin padang pasir putih. Tampak kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Hal yang menarik dari cover adalah bayangan lelaki itu membentuk semacam noda hitam besar yang menciprat ke mana-mana. Noda hitam yang kecipratan itu menyerupai perahu. Namun, perahu itu menggeletak di daratan tak bernama. Sebuah perahu yang karam? Ada nuansa kematian di sana.

 Masih dari sisi lay out, hal yang juga mencolok adalah pemakaian font dan ukuran huruf yang out box. Bentuk dan ukuran huruf kalimat langsung berbeda dengan kalimat tidak langsung. Huruf juga kadang kala dimiringkan. Dengan demikian, pembaca dipastikan tidak akan bosan. Lay out yang out box tampaknya merupakan pemberontakan terhadap gaya menulis baku yang mesti memenuhi kaidah penulisan yang benar. Pemberontakan juga adalah semangat yang bisa kita rasakan dari cerita Hans.

 Buku ini lumayan bersih. Dengan ukuran yang mungil, praktis bisa dibawa ke mana-mana dan kapan pun. Saya pernah mencobanya: di jok motor. Anda masih bisa mencari tempat yang lebih sempit.

 Sejauh penyelidikan saya, Moya Zamzam Printika melakukan pencetakan buku dengan sangat baik. Tidak ada huruf yang lupa dicetak. Itu juga adalah bukti ketelitian Hans. Sastrawan selalu ceroboh. Tampaknya, prasangka itu terfalsifikasi dalam karya ini.

 Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan, tua dan muda, anak sekolah dasar dan profesor, preman dan pastor, tukang sapu dan presiden, politisi dan filsuf, singkatnya semua orang yang mau beriman secara dewasa dan mau mengerti bahwa melalui kematian, kita sanggup mengenal Allah. Jadi, benarkah Tuhan mati di biara? Tuhan bukan hanya akan mati di biara, tetapi akan mati di mana-mana, saat cinta ditertibkan dan benci semakin dikoordinasi.***

Silvano Keo Baghi

Wartawan dan Readktur HU Flores Pos di Ende, NTT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun