Ketiga, Kewisek. Kewisek adalah pemuda usia 30-an tahun yang lahir dari seorang perempuan lanjut usia, Rina. Kelahiran Kewisek bukan saja membebaskan Rina dari cibiran keluarga, termasuk suaminya Goleng dan tetangga tentang betapa mandul dan tak berarti dirinya sebagai perempuan, tetapi juga membawa berkah bagi penduduk kampung karena Kewisek terlahir sebagai pemuda tampan bak titisan dewa yang memiliki kemampuan gaib untuk menyembuhkan pelbagai penyakit. Hingga pada suatu ketika, Kewisek menderita penyakit yang tak tersembuhkan. Sarabiti, dukun kampung paling kondang mendiagnosis ibu Kewisek, Rina sebagai penyebab sakitnya Kewisek. Maka, dibakarlah Rina di tanah lapang. Namun, seperti tak tahan menyaksikan penderitaan ibunya, Kewisek pun ikut membakar diri. Kewisek dan Rina wafat bersamaan dengan kondisi tubuh yang gosong. Sarabiti? Ia juga diteriakki massa kampung kerasukan arwah leluhur.
Keempat, Pegawai Pajak. Semua orang tampak menjauhi pegawai pajak hanya karena pemuda itu seorang pegawai pajak, tak terkecuali kekasihnya, Sisilia. Situasi berubah ketika seorang pemuda karismatik mengunjungi kampungnya dan memberi tahu bahwa ia akan menumpang di rumah pemuda si pegawai pajak itu. Semua orang tentu saja mencibir, mengapa justru rumah si pegawai pajak, pemuda yang memiliki banyak pengikut itu memilih tumpangan. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, pemuda karismatik itu mati dibunuh.
Kelima, Bidadari Keroko Puken. Cerpen ini membuka kisahnya tentang ditemukannya kembali seorang gadis yang hilang di tengah hutan. Ibu si gadis kemudian menceritakan nasib Ama, suaminya yang mati karena kawin dengan perempuan gaib utusan kewokot, yaitu arwah orang yang sudah meninggal. Kewokot marah karena Ama menebang pohon terlarang di tengah kebun. Pada adegan lainnya, seorang pengusaha juga diganggu oleh perempuan utusan kewokot karena hendak mengubah hutan menjadi pabrik, swalayan dan hotel. Nasib pengusaha muda tak pasti.
Keenam, Gunung Selepas Fajar. Seorang ibu mencari suami dan putrinya yang hilang akibat letusan Gunung Rokatenda. Tokoh Aku begitu gamang menyaksikan kepergian sang ibu sehingga memertanyakan segala otoritas moral yang membelenggunya seperti Tuhan dan agama. Satu-satunya kerinduannya adalah berkumpul kembali dengan keluarganya.
 Akhirnya, buku Hans ditutup dengan judul cerita ketujuh, 8 cerita pendek tentang Lamaholot yakni Nura Nara, Berburu Ikan Paus, Belis, Korban, Ibu, Rumah, Sumur Tua, dan Ekaristi. Semuanya karib dengan kematian. Bukankah Ekaristi adalah kenangan akan kematian yang paling akbar sepanjang sejarah kehidupan manusia? Mungkin karena alasan kematianlah, Gereja tetap bertahan hingga sekarang. Paling kurang, bayangan akan betapa ngerinya kematian sudah cukup membuat manusia enggan meninggalkan iman.
Kematian
 Setelah membaca ikhtisar karya Hans, Anda akan tahu, aksis yang menjadi pusat dari semua cerita adalah kematian. Pertanyaannya, siapa atau apa yang mati? Benarkah Tuhan? Benarkah Tuhan mati di biara dan hanya di biara? Bukankah Tuhan bisa mati di mana-mana saat cinta ditertibkan dan benci semakin dikoordinasi? Jika hal yang paling penting menurut Hans adalah kasih sayang, maka mestinya kematian yang patut kita tangisi adalah matinya kasih sayang. Hilangnya cinta di hati. Mana kala cinta mati, Tuhan memang benar-benar mati, tidak terkecuali di biara.
 Dalam sebuah pesan singkat, Hans sendiri menjelaskan arti "Tuhan Mati di Biara"sebagai berikut, "kata Tuhan artinya kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran mati di biara. Maksudnya, ada banyak kejanggalan dalam hidup membiara yang justru memengaruhi (merusak) penghayatan iman umat. Selain itu, karena keterjaminan hidup, biarawan/ti justru lamban atau apatis dengan masalah sosial. Umumnya, solusi yang dibuat masih terbatas pada seruan profetis saja," katanya.
 Dirumuskan secara singkat, kebenaran mati di biara mana kala pertama, pelbagai kejanggalan hidup membiara merusak iman umat, kedua, biarawan/ti tidak peduli dengan masalah sosial karena status quo yang sudah sangat nyaman, dan ketiga, untuk menutupi borok ketidakpedulian, khotbah moral dianggap sudah cukup menjadi solusi atas semua masalah sosial.
 Akan tetapi, jika Tuhan menunjuk pada kebenaran, maka ia mestinya bukan hanya mati di biara. Sebab, biara bukan pemilik tunggal kebenaran. Dengan tafsiran yang lebih radikal, Tuhan bisa mati di mana-mana karena kebenaran bisa dipermainkan oleh siapa pun dan di mana pun. Kata biara tidak lagi menunjuk pada locus historis dalam institusi Gereja Katolik, melainkan menjelma menjadi universum kemungkinan akan matinya kebenaran. Maka, akan sangat menggelikan kalau kaum biarawan/ti menyambut karya Hans ini dengan sikap sinis.
Mengapa Patut Dibaca?