Bagian pertama buku Hans memuat judul cerita.Â
Pertama, Hostia. Hostia adalah cerpen yang ditulis Hans untuk mengenang Alm. P. Dr. Yoseph Suban Hayon, SVD. Hostia berisi kisah tentang pemberontakan sebuah hostia yang menolak dilahap oleh umat di Gereja karena ia tidak mau tubuhnya yang kurus kering dicerna oleh lambung manusia yang lapar dan gelisah. Namun, di akhir cerita, hostia justru mengalami pengalaman 'dilahap' yang sangat berbeda dari apa yang pernah dipikirkannya. Tubuh kurusnya tidak remuk, tetapi ia malah menjamah hati yang terluka karena cinta dari orang yang melahapnya. Hostia akhirnya diam pada dasar lambungnya yang letih. Hostia betul-betul merasakan arti requescat in pace. Cerpen itu meninggalkan pertanyaan yang tersisa, siapakah sang pelahap hostia? Atau imam yang saleh atau umat yang setia? Bagaimana nasib hostia selanjutnya?
Kedua, Rani. Setelah beberapa kali membaca cerpen "Rani" saya tetap tak tahu, siapa itu Rani atau Nurani. Apakah Rani atau Nurani adalah ibu si tokoh Aku yang dibakar massa karena adat istiadat? Atau, bisa saja Rani dan Nurani adalah dua tokoh yang berbeda. Bisa benar pula jika Paul Budi Kleden menafsir matinya Rani sebagai kematian nurani dari orang-orang yang karena tradisi tega membakar Rani hidup-hidup. Spekulasi pembaca bisa bermacam-macam. Akan tetapi, ikhtisar cerpen Rani berpusat pada tokoh Aku dan ibunya. Tokoh Aku menceritakan alasan dan kematian ibunya yang tragis. Cerita berakhir pada saat tokoh Aku bertemu dengan seorang wanita berbusana kerajaan model tahun 80-an yang menuntunnya ke sebuah makam dengan nama "Nurani" pada batu nisannya.
Ketiga, Kinasih. Cerpen "Kinasih" merupakan kisah cinta yang amat memikat antara Heri dan Kinasih. Dua-duanya pekerja kantor. Heri lebih dulu bekerja, sedangkan Kinasih baru dua hari bekerja setelah menamatkan pendidikan di Jurusan Admininstrasi Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada saat mereka jatuh cinta untuk pertama dan terakhir kalinya. Tempat favorit mereka memadu kasih adalah taman kota yang berdekatan dengan kantor. Taman kota itulah yang juga menjadi saksi bisu bahwa Kinasih telah hamil dan bayi yang dikandungnya bukan darah daging Heri. Heri baru mengetahui pemerkosa Kinasih ketika Kinasih memberikannya sepucuk surat melalui seorang dokter sesaat sebelum ia menghembuskan nafas terakhir pada saat melahirkan Kinasih, putri semata wayangnya. Apakah Kinasih junior akan mengalami nasib yang sama dengan ibunya? Diperkosa oleh kakeknya sendiri? Akhir Cerpen "Kinasih" juga menggemaskan.
Keempat, Jalan Mulus Menuju Surga. Cerpen ini memuat kisah tentang seorang pastor yang karena amat sangat merasa kehilangan seorang sahabat karibnya, seorang koster gereja, yang baru saja meninggal, menuntut agar umat membongkar kembali makam sahabatnya itu. Permintaan Pastor ditentang oleh ibu kandung almarhum karena menurutnya pembongkaran makam baru bertentangan dengan tradisi.
Kelima, Dalima. Akhir kisah "Dalima" membuat pembaca geram mengapa seorang laki-laki tega meniduri istri sekaligus putri semata wayangnya? Dan sudah sejak awal, nasib sang putri tragis, lebih dari sekadar sepotong kawat berduri tersangkut di tenggorokan: Dalima bunuh diri.
Keenam, Grace. Seperti Dalima, akhir kisah Grace juga tragis: dibunuh oleh penjabat publik yang menghamilinya. Akan tetapi, menurut Ikal, tokoh Aku dalam kisah itu, hal yang paling menyedihkan bukanlah kematian Grace, gadis pemilik ribuan idealisme, melainkan kenyataan bahwa manusia hidup dituntun oleh moral yang mati. Kematian moralitas kian tragis pada saat pengadilan dan penjara tak lebih dari sebuah tempat rekreasi.
Ketujuh, Tuhan Mati di Biara. Ini adalah kisah yang rumit. Memosisikan tokoh pada tempat yang semestinya pun sulit. Sebut saja Grace, Ratih, terdakwa, seorang anak kecil dan seorang ayah. Yang pasti, Grace mati dibunuh karena sebuah kisah cinta yang terlarang. Dan terdakwa didakwa dengan hukuman penjara seumur hidup. Hadirnya tokoh si anak kecil pada bagian akhir cerita sepertinya adalah kunci yang bisa membuka tabir misteri mengapa cerita ini berjudul "Tuhan Mati di Biara". Hanya saja, ketika dikonfirmasi, Hans menjawab, kisah itu diinspirasi oleh kasus mantan pastor, Herman Jumat, yang heboh beberapa tahun lalu. Itu pun belum sanggup membuka selubung misteri cerita ini.
 Sementara itu, bagian kedua buku Hans juga memuat tujuh judul cerita.
Pertama, Matinya Sang Tukang Roti. A Ming, seorang tukang roti di Maumere memutar memori tentang pembunuhan sadis terhadap saudari bungsunya Lintang pada tahun 1997. Rusdi, anak semata wayangnya menulis kembali kisah ayahnya itu hingga pada akhirnya ia disalibkan di atas sebuah bukit.
Kedua, Aroma Kopi dan Sisilia. Seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, Sam menjalani kuliah kerja nyata di Colol, Manggarai. Di Colol, ia tinggal bersama sebuah keluarga yang memiliki putri semata wayang bernama Sisilia. Dari mulut Sisilia, Sam kemudian tahu, Rustam, tunangan Sisilia tewas gantung diri di pohon kopi di perkebunan kopi keluarga karena menolak kebijakan pemerintah daerah setempat untuk melakukan konservasi dengan cara membabat isi kebun kopi. Hingga akhirnya Sam menerima sepucuk surat dari orang tua angkatnya bahwa Sisilia sudah meninggal dua tahun lalu sejak kunjungannya ke Colol.