Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Tuhan Mati di Biara?

10 Juli 2017   03:44 Diperbarui: 11 Juli 2017   00:30 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Buku Hans termasuk karya fiksi yang digarap dengan teknik penceritaan yang luar biasa.
 Jika diklasifikasikan, karya Hans merupakan buku kumpulan cerita pendek.

 Sebagai sebuah cerita pendek, buku Hans tentu memiliki kesamaan dan perbedaan dengan buku kumpulan cerpen lainnya. Kesamaannya, tentu karena ia merupakan cerita pendek, maka isi cerita benar-benar pendek. Saya kira, itulah alasan mengapa sebuah cerpen sejati selalu meninggalkan rasa penasaran yang menggemaskan.
 Perbedaannya, karya Hans semacam dijiwai oleh suatu benang merah tertentu hingga menyebutnya sebagai sebuah kumpulan cerita, rasa-rasanya kuranglah tepat. Sebab, sesuai dengan nama, sebuah kumpulan cerita tidak mesti memusatkan diri pada satu tema tertentu yang kaku. Yang dilakukan Hans adalah meramu cerita-cerita pendek sedemikian rupa sehingga pada akhirnya pembaca dapat menemukan benang merah tertentu. Sebuah benang yang menjadi aksis bagi semua cerita. Benang merah itu adalah iman, cinta, adat istiadat, politik, agama, dan tentu saja Tuhan. Dan bahwa iman, cinta, adat, politik, agama, dan Tuhan hanya dapat dipahami melalui kematian. Kematian, itulah aksis cerita-cerita Hans. Penyair Dedi Try Riyadi berkomentar seperti ini, "betapa tidak, hampir semua cerita pendek yang ada dalam kumpulan cerita pendek ini punya kaitan dengan kematian" (Ibid., p. xii). Dan komentar Vika Kurniawati, "tiap cerpen dalam buku tersebut mempunyai benang merah terlihat samar walau terjalin kuat yaitu 'iman'" (Ibid., p. x). Saya kira, kelebihan teknik penceritaan Hans terletak pada kecerdasannya untuk menyamarkan tema umum kumpulan cerpen. Dan tema yang tersamar itu berhasil membuat publik pembaca bertanya-tanya, entah apa maksud Hans.

 Buku kumpulan cerpen ini benar-benar menggemaskan justru karena ia adalah cerita yang benar-benar pendek. Di saat rasa penasaran pembaca mulai membuncah, Hans justru mengakhiri ceritanya.

 Hal menggemaskan lainnya, entah itu bisa disebut atau kekurangan atau kelebihan, pembaca tidak akan pernah cukup hanya singgah sebentar untuk memahami Hans. Ia mesti menggauli cerita dengan cukup intens agar dapat memahami mutiara nilai yang terpendam. Hans tak dapat dipahami jika hanya dibaca sekali.

 Persis seperti ditulis Nh. Dini pada saat mengomentari novel "Sampar" Albert Camus, "untuk membaca karya Albert Camus, pertama-tama seharusnya kita membuat rencana. Sesudah itu kita berkencan dengan dia, karena tidak mungkin kita hanya akan 'singgah.' Pertemuan dengan Albert Camus yang berlangsung cepat dan tergesa tidak akan membawakan sesuatupun pada kita. Sebab itu, sebaiknya kalau kita berkehendak membaca karya Albert Camus, kita harus mempunyai waktu. Barulah kita akan mampu mengikuti jalan pikirannya, melihat dengan jelas apa yang dimaksudkannya. Setuju atau tidak dengan dia, itu merupakan soal lain" (Albert Camus (Nh. Dini, penerj), Sampar, 1985: viii).

 Mungkin berlebihan, akan tetapi, coba pertahankan komentar Nh. Dini dan gantilah nama besar Albert Camus dengan nama kecil Hans Hayon. Dua-duanya memiliki kemampuan yang super untuk menghidupkan karyanya dengan pelbagai bentuk analogi dan simbolisme yang teramat kaya. Terhadap sebuah analogi dan simbolisme, Anda tak mungkin hanya singgah sebentar. Anda mesti pacaran dan bila perlu menikahlah dengannya. Jika tidak, Anda akan pulang dengan tangan hampa, bukan karena yang dicari tak berisi, melainkan karena Anda mencarinya dengan cara yang sia-sia.

 Paul Budi Kleden dalam komentarnya menulis, "cerpen-cerpen Hans memang amat kaya dengan analogi dan simbolisme. Cerpen 'Gunung Selepas Fajar' dimulai dengan kalimat-kalimat kaya analogi: "air dalam gelas terasa begitu dingin setelah menyentuh ujung lidahku yang bergetar hebat. Hari telah cukup matang dengan senja yang memerah di puncak gunung, ketika Ibu mengatakan, ''Ibu ingin pergi ke Utara" (Hans Hayon, Ibid., p. vii). Dan simbolisme itu menyatu dalam satu aksis yang sama, yakni kematian.

 Demikian pun, sejak halaman pertama bukunya, Camus sudah menulis tentang kematian, "cara mudah mengenal sebuah kota adalah dengan mengetahui bagaimana penduduk di sana bekerja, mencinta dan mati" (Albert Camus, Ibid,. p. 1). Dan novel "Sampar" dimulai dengan kisah tentang seekor tikus yang menggelepar di sudut-sudut kota: "pada tanggal 16 April, ketika Dokter Bernard Rieux keluar dari tempat praktik, kakinya tersandung seekor tikus mati di ruang gedung depan pintu... Malam itu juga, sewaktu Bernard Rieux berdiri di lorong gedung sambil mencari kunci sebelum naik ke tempat tinggalnya, dia melihat seekor tikus besar muncul dari ujung yang gelap, jalannya tidak pasti dan bulunya basah. Binatang itu berhenti seolah-olah mencari keseimbangan, lalu berlari ke arah dokter, berhenti lagi, kemudian berputar-putar sambil menjerit, dan akhirnya tergeletak sambil menyemburkan darah dari moncongnya yang setengah terbuka... Bukan kepada tikus dia berpikir. Darah yang tersembur itulah yang membuatnya khawatir" (Albert Camus, Ibid., p. 5).

 Camus mengamati kehidupan sehari-hari yang biasa, lalu menyajikannya kembali dalam bentuk sebuah cerita yang amat memikat: seekor tikus, binatang menjijikkan menjadi simbol dan tanda awal penyakit sampar yang mengguncang penduduk kota Oran, Prancis.

 Dan seperti Camus, Hans juga melakukan hal yang sama. Kita kutip lagi komentar Paul Budi Kleden, "di dalam cerpen yang sama (Gunung Selepas Fajar, Red) Penulis menunjukkan pengamatannya yang tajam atas keseharian manusia dan kefasihannya membuat perbandingan yang cerdas: "Dan aku lebih tak tahu lagi, apakah aku seorang manusia ataukah malah sebentuk kulkas. Sebuah tempat di mana orang berusaha mengawetkan cinta dan rindu" (Hans Hayon, Ibid., p. vii).

 Manusia dan kulkas bukan hanya dua hal yang berbeda dalam segala aspeknya tetapi juga adalah dua hal yang teramat biasa dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, aksis yang menghubungkan keduanya adalah kemampuan untuk mengawetkan sesuatu yang menjadikannya berarti. Bukankah perjalanan terpanjang manusia adalah perjalanan menemukan jati diri dan makna hidup? Bukankah jati diri dan makna hidup seorang anak manusia terletak pada kemampuannya untuk mencinta dan merindu? Seperti kulkas, tugas manusia adalah mengawetkan cinta, kerinduan, dan harapan jika tidak mau hidupnya menjadi sia-sia. Seperti tikus dalam kisah "Sampar" Albert Camus, kulkas dalam cerpen "Gunung Selepas Fajar" Hans juga menjadi simbol dan tanda awal kematian: meletusnya Gunung Rokatenda dengan tanpa meninggalkan satu korban selamatpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun