Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Tuhan Mati di Biara?

10 Juli 2017   03:44 Diperbarui: 11 Juli 2017   00:30 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 (Resensi Buku Kumpulan Cerpen "Tuhan Mati di Biara" Karya Hans Hayon)

Sebenarnya, ada banyak tema yang digarap Hans dalam kumpulan cerpen "Tuhan Mati di Biara" antara lain iman, agama, adat istiadat, politik, budaya patriarki, dan cinta. Akan tetapi, hemat saya, aksis yang menghubungkan semua tema itu adalah kematian. Kematian merupakan titik sentral, akhir dan jembatan bagi Hans untuk membincang semua tema di atas.

Jadi, apa yang mau disampaikan Hans? Nosse Deum, Posse Mori. Saya sepakat dengan komentar Dedi Try Riyadi, "... Pepatah Latin itu mengatakan 'mengenal Allah berarti mengenal kematian.' Meskipun pada kenyataannya, yang disampaikan oleh Hans dalam karya-karyanya ini adalah kebalikannya; mengenal kematian adalah (cara) mengenal Allah. Betapa tidak, hampir semua cerita pendek yang ada dalam kumpulan cerita pendek ini punya kaitan dengan kematian" (Hans Hayon, Tuhan Mati di Biara, 2016: xii). Dari sekian banyak pesan, mungkin ini salah satu pesan utama Hans: kenalilah kematian, niscaya Allah akan dapat dikenal.

 "Tuhan Mati di Biara" merupakan buku pertama Hans Hayon yang diterbitkan Penerbit Nusa Indah Ende di Jalan El Tari Ende pada Oktober 2016. Buku setebal 178 halaman itu terdiri atas 14 judul cerita yang dibagi ke dalam dua bagian besar. Bagian pertama memuat tujuh (7) judul cerita, sedangkan bagian kedua juga memuat tujuh (7) judul cerita. Judul cerita terakhir pada bagian kedua memuat delapan (8) buah cerita pendek dari Lamaholot. Buku yang menggunakan format kertas mungil itu memuat dua (2) komentar dari Vika Kurniawati dan Dedy Try Riyadi, satu (1) buah pengantar dari Paul Budi Kleden, dan sebuah catatan penulis. Desain sampul dan tata letak (lay out) buku masing-masing dikerjakan oleh Gregorius Emilio dan Yohan Z. L. Wadu. 

Tentang Penulis
 Hans Hayon, lengkapnya Yohanes W. Hayon, lahir di Hokeng, 26 Juni 1990. Hans tamat dari SDK Nurabelen tahun 2003, SMPK Sanctissima Trinitas Hokeng tahun 2006 dan SMA Seminari San Dominggo Hokeng tahun 2009. Setelah meraih gelar S-1 Filsafat pada STFK Ledalero pada tahun 2016, ia melakukan praktik pastoral di Surat Kabar Harian Umum Flores Pos sebagai wartawan, editor, dan redaktur rubrik sastra. Sekarang, Hans menetap di salah satu kos di Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende. Isu yang beredar, Hans akan mengambil program strata 2 di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

 Hans menulis banyak karya baik fiksi maupun non-fiksi. Namun, ia tampaknya lebih banyak menggandrungi karya fiksi dengan menulis esai, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya malang melintang di beberapa media lokal cetak dan online seperti Majalah Loti Basastra, Pos Kupang, Flores Pos, Suara NTB, Jurnal Fiksi Basabasi.co, Jurnal Sastra Santarang, dan Victory News.

Mengapa Menulis "Tuhan Mati di Biara"?

Hans sendiri menjawab, "buku ini lahir dari keraguan, kemungkinan, dan kebingungan. Dengan kata lain, ia ada karena cinta" (Ibid., p. xix). Pada tempat lain, ia menegaskan lagi, "sekali lagi, atas nama cinta dan kekesalan-kekesalan yang saya temukan sebelum ia menghilang, buku ini lahir" (Ibid.).

Bagi Hans, keraguan, kemungkinan, kebingungan dan kekesalan adalah nama lain dari cinta. Dan inilah kata Hans tentang cinta, "Kalau bicara soal cinta, saya lebih sering memiliki referensi pada Paul Budi Kleden. Ia mengutip Fyodor Dostoyevski demikian 'mencintai semua orang sama saja dengan tidak mencintai siapa-siapa. Karena mencintai semua orang adalah mencintai pengertian abstrak. Cinta itu konkret, membedakan, memberi identitas. Dia mulai dengan memberi nama, dan melebur dalam nama. Tidak ada cinta tanpa nama.' Dengan kata lain, hanya melalui nama, pemberian identitas memungkinkan cinta" (Ibid., pp. xix-x).

Jawaban Hans memang sangat puitis dan karena itu mesti ditafsir. Cinta menurut Hans adalah cinta yang mesti dikonkretkan. Kita hanya dapat mencintai seseorang atau sesuatu yang konkret. Kita tidak akan pernah sanggup mencintai sesuatu yang abstrak. Dan cinta hanya dapat dimengerti kalau ada aktivitas mencintai. Tanpa mencintai, cinta tak ada. Dan mencintai hanya dapat dilakukan dengan tindakan mencintai terhadap seseorang atau sesuatu yang memiliki nama. Dan justru karena ia membutuhkan nama, kita seringkali menghadapinya sebagai sebuah keraguan, kemungkinan, kebingungan, dan juga kekesalan. Mungkin itulah alasannya mengapa Yesus bersabda, "barangsiapa melakukan sesuatu untuk salah seorang dari saudara yang paling hina ini, ia telah melakukannya untuk Aku." Mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama adalah omong kosong. Cinta butuh nama, Sisilia misalnya. Cukuplah penafsiran catatan ini.

Ikhtisar Buku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun