perang melalui korespondensi mereka menyampaikan kabar dari garis depan ke penjuru dunia.Â
Dari jepretan film hitam-putih Robert Capa di pesisir pantai Normandia, hingga suara Marie Colvin di balik gempuran artileri di tengah reruntuhan kota Homs, Suriah, para jurnalisJurnalis perang terjun ke pojok-pojok beringas dunia untuk menyaksikan konflik dengan mata kepala mereka, kemudian mencatat dan mengumpulkan segala hal yang dianggap perlu untuk dikabarkan kepada publik, entah itu dalam bentuk tulisan, tangkapan foto, rekaman video, ataupun laporan audio. Acapkali, jurnalisme perang dinobatkan sebagai bidang jurnalisme yang paling berbahaya.Â
Tugas yang diemban oleh jurnalis perang di zona konflik tidaklah hanya sebatas melaporkan dan menjadi sumber informasi bagi publik, namun juga turut serta menjadi corong suara-suara populasi sipil yang menjadi korban perang sesungguhnya, yang seringkali dibungkam di tengah gemuruh pertempuran.
Umat manusia telah mencatat dan melaporkan konflik antar sesamanya semenjak awal peradaban. Gambar-gambar dan ukiran prasejarah yang ditemui di gua-gua menceritakan bagaimana para pemburu bertarung melawan tantangan di masa mereka, entah itu hewan buruan ataupun hewan buas yang mengancam eksistensi mereka.Â
Kabar mulut dari generasi ke generasi, tak peduli betapa megah ataupun sederhananya, menceritakan bagaimana pertempuran yang dihadapi oleh para manusia terdahulu, sebuah titik permulaan dari penuturan riwayat manusia secara lisan.Â
Sejarah kemudian mencatat bagaimana epos dari abad ke-8 sebelum Masehi, Iliad dan Odyssey, gubahan Homer di zaman Yunani Kuno, mencatat bagaimana perseteruan Raja Agamemnon, sang pejuang Achilles, dan perjalanan Raja Odysseus dalam Perang Troya.Â
Catatan-catatan hebat dari masa lalu ini belum dapat dikategorikan sebagai bagian dari jurnalisme perang, dikarenakan sifatnya yang kental dengan nuansa mitologi dan keistimewaan yang kerap kali dilebih-lebihkan. Namun tetap saja, baik tradisi lisan dan epos gubahan Homer meletakkan pondasi dan pijakan awal terhadap cikal bakal jurnalisme perang.
Terdapat perdebatan mengenai siapa figur historis yang memiliki catatan yang valid sehingga dapat dinobatkan menjadi jurnalis perang yang pertama-tama. Beberapa kandidat yang dibicarakan dalam konteks ini di antaranya seorang sejarawan Yunani, Thucydides, yang mengabarkan tentang Perang Peloponnesos pada tahun 424 SM.Â
Kandidat lain yaitu sang pemimpin Roma, Julius Caesar, yang menyimpan catatan terkait penaklukkan Galia pada tahun 55 SM. Catatan-catatan tersebut dianggap lebih maju dan lebih komprehensif dibandingkan epos Homer, namun kedua figur tersebut baru menuliskan riwayat terkait kejadian yang mereka alami beberapa tahun setelahnya, jauh dari kecamuk pertempuran.Â
Sekalipun sejarah telah menyaksikan banyak catatan-catatan perang, dari yang mitologis hingga yang komprehensif, profesi jurnalis perang belum dapat disematkan kepada siapapun hingga awal abad ke-19, melalui keterlibatan Henry Crabb Robinson yang diutus media London, The Times, dan Charles Lewis Gruneison, utusan London Morning Post, di tengah kampanye Napoleon Bonaparte di medan tempur Eropa.
Henry Crabb Robinson merupakan seorang advokat Inggris yang mendapat tawaran dari The Times untuk pindah ke Altona, Jerman, pada tahun 1807 dengan tujuan mengumpulkan laporan mengenai pergerakan dan sepak terjang operasi militer Napoleon Bonaparte di daratan Eropa.Â