Capa merupakan fotografer kelahiran Hungaria berkebangsaan Amerika Serikat yang acapkali dianggap sebagai seorang fotojurnalis legendaris yang memiliki nyali setangguh baja.Â
Mengawali karirnya sebagai fotografer dengan memotret orasi Leon Trotsky di Copenhagen, Capa menghadapi langsung penindasan politik Nazi Jerman di tanah kelahirannya, Hungaria.Â
Penindasan ini memaksanya untuk pindah ke Paris, dan mulai terjun ke berbagai medan perang. Di antaranya liputannya termasuk Perang Sipil Spanyol, Perang Cina-Jepang Kedua, Konflik Arab-Israel, Perang Indochina Pertama, dan Perang Dunia Kedua.Â
Namanya menjadi legenda setelah meliput Invasi D-Day di pantai Normandia secara langsung, sebagai satu-satunya orang sipil yang mendarat di pesisir Normandia bersamaan dengan pasukan Sekutu lainnya, dengan hanya bersenjatakan sebuah kamera film analog di tangannya. Kiprahnya di Perang Dunia Kedua setelah Invasi Normandia termasuk meliput jalannya perang di London, Afrika Utara, Italia, dan menyaksikan langsung Pembebasan Paris.Â
Pada tahun 1947, ia diberi anugerah Medal of Freedom oleh Presiden Amerika Serikat, Eisenhower. Di tahun yang sama, Capa mendirikan Magnum Photos di Paris, agensi pertama yang menaungi fotografer berbasis freelance secara global. Capa kemudian tewas pada usia 40 tahun di Provinsi Thai Binh, Vietnam Utara, setelah menginjak ranjau darat di tengah kegiatan meliput Perang Indochina Pertama.
Jurnalisme perang juga hadir di tengah kecamuk Perang Vietnam, dengan ciri khas yang berbeda. Pendekatan para jurnalis di Perang Vietnam lebih menjurus ke arah jurnalisme investigatif, yang mana liputan-liputan yang dihasilkan umumnya berfokus pada pembicaraan mengenai penderitaan kemanusiaan, perdebatan mengenai etika perang, dan intervensi Pemerintahan Amerika Serikat di tengah konflik Vietnam.Â
Perang Vietnam tercatat sebagai konflik yang paling banyak melibatkan jurnalis perang, namun juga di kemudian hari terbukti paling mematikan. Dari sekitar 400 jurnalis yang diterjunkan di Perang Vietnam, 68 orang terbunuh hingga perang dinyatakan usai.Â
Pemberitaan seputar Perang Vietnam yang suram dan kritis seringkali dipermasalahkan oleh pihak-pihak di dalam Pemerintahan Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa liputan tersebut menghancurkan moril prajurit dan menurunkan dukungan rakyat Amerika Serikat terhadap upaya perang di Vietnam.Â
Hal ini disinyalir oleh beberapa pihak menjadi alasan di balik ketatnya proses seleksi dan pembatasan kegiatan liputan jurnalis di konflik-konflik selanjutnya yang melibatkan Amerika Serikat, seperti Perang Teluk Persia, dan konflik di Irak dan Afghanistan.
Berbicara mengenai pengorbanan yang harus diberikan oleh para jurnalis perang dalam kelahiran karya jurnalistik mereka di era modern, tidak lengkap rasanya apabila kita tidak ikut berbicara mengenai Marie Colvin. Colvin merupakan jurnalis perempuan berkebangsaan Amerika Serikat yang bekerja sebagai reporter untuk media Inggris, The Sunday Times.Â
Semenjak awal karirnya di The Sunday Times pada tahun 1985, Colvin berfokus pada korespondensi luar negeri, dan di kemudian hari mendedikasikan dirinya kepada liputan kemanusiaan di zona konflik. Colvin menjadi jurnalis Barat pertama yang berhasil mewawancarai Muammar Gaddafi, pemimpin Libya, pada tahun 1986. Selain meliput konflik di kawasan Timur Tengah, Colvin juga terjun ke kawasan konflik di Chechnya, Kosovo, Sierra Leone, Zimbabwe, Sri Lanka dan Timor Leste.Â