Pada tahun 1999, Colvin berperan dalam menyelamatkan 1.500 perempuan dan anak-anak di Timor Leste di dalam sebuah bangunan yang telah dikepung oleh militer Indonesia. Ia memilih bertahan dengan pasukan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mana ia beserta seluruh perempuan dan anak-anak korban perang berhasil dievakuasi empat hari kemudian.
Pada tahun 2001, Colvin meliput Perang Saudara Sri Lanka dengan ikut serta mengiringi pergerakan organisasi militan Tamil Tigers, pihak oposisi dalam konflik tersebut.Â
Ketika menyeberang ke teritori yang dikuasai Pemerintah Sri Lanka, Colvin kehilangan penglihatan di mata kirinya setelah terkena ledakan granat peluncur roket yang ditembakkan Angkatan Darat Sri Lanka, meskipun ia berulang kali meneriakkan kata-kata "Journalist! Journalist!" sebagai tanda bahwa dirinya merupakan pihak sipil yang bersifat netral di tengah medan pertempuran tersebut. Sekalipun terluka parah dan kehilangan setengah penglihatannya, Colvin yang ketika itu telah berusia 44 tahun berhasil menulis dan mengirimkan liputannya sepanjang 3.000 kata secara tepat waktu ke The Sunday Times.Â
Setelah mendapat perhatian medis, Colvin melanjutkan liputannya untuk melaporkan bencana kemanusiaan di kawasan Tamil Utara, berupa pemutusan pasokan makanan dan obat-obatan, serta pelarangan liputan oleh jurnalis asing selama enam tahun terakhir. Laporan Colvin mengenai kejahatan perang terhadap populasi suku Tamil menjadi salah satu faktor yang mendorong penyelesaian konflik Perang Saudara Sri Lanka.Â
Sepulang dari Sri Lanka, Colvin harus dirawat di rumah sakit akibat menderita post-traumatic stress disorder (PTSD) akibat menyaksikan langsung sebagai saksi mata bagaimana penduduk sipil menjadi korban dari perang yang berkecamuk. Colvin juga menggunakan penutup mata di bekas mata kirinya yang terluka, yang di kemudian hari menjadi bagian dari ciri identitasnya.
Februari 2012, Colvin masuk ke wilayah Suriah dengan membonceng sepeda motor milik anggota pasukan oposisi Suriah. Ia masuk ke wilayah Suriah secara ilegal, sebab Pemerintah Suriah melarang secara ketat jurnalis asing untuk masuk dan meliput Perang Saudara Suriah tanpa izin. Colvin bertugas di distrik Baba Amr, di kawasan barat kota Homs. Ia menyampaikan laporan terakhirnya melalui telepon satelit yang disiarkan langsung oleh media-media global seperti BBC, CNN, Channel 4, dan ITN.Â
Liputan terakhir Colvin menggambarkan serangan granat dan tembakan sniper yang membabi buta menyerang rumah-rumah dan orang-orang sipil di jalanan. Colvin menyebut bahwa Pengepungan Homs merupakan konflik terburuk yang pernah ia alami sepanjang sejarah karirnya. Pada 22 Februari 2012, sehari setelah penyampaian liputan terakhirnya, Colvin tewas setelah terkena serangan tembakan artileri Pemerintah Suriah.Â
Beragam sumber melaporkan bahwa Colvin sengaja ditarget oleh Pemerintah Suriah, dan posisinya diketahui setelah Pemerintah Suriah melacak sinyal telepon satelit yang ia gunakan dalam penyampaian liputan di hari sebelumnya.Â
Colvin dan seorang rekan fotografer, Remi Ochlik, merupakan beberapa jurnalis yang tetap tinggal di kota Homs, setelah banyak tim jurnalis berangkat untuk evakuasi beberapa jam sebelumnya. Tahun 2016, Cathleen Colvin, adik dari Marie Colvin, mengajukan gugatan sipil terhadap Pemerintah Suriah atas pembunuhan ilegal Marie Colvin.Â
Pada tahun 2019, pengadilan Amerika Serikat menjatuhkan putusan bahwa Pemerintah Suriah dinyatakan bersalah atas kematian Colvin dan terbukti sengaja menyasar Colvin dikarenakan posisinya sebagai jurnalis untuk "membungkam orang-orang yang melaporkan perkembangan gerakan oposisi di negara tersebut."
Para jurnalis perang turut mengungkap, dan dalam kapasitas tertentu, ikut mencegah adanya penyalahgunaan kuasa, pelanggaran hak asasi manusia, hingga dugaan kejahatan perang dan kemanusiaan. Mereka turut menyandang tanggung jawab sosial dan kemanusiaan untuk mengungkap dan mengutuk adanya kesenjangan sosial dan ketidakadilan di pojok-pojok tergelap bumi.Â