Apa yang sebenarnya ingin kita capai atau apa tujuan dari gerakan mahasiswa itu sendiri? Menurut Alain Badiou saat ini kita sedang berada dalam fase disorientasi sosial, saat ini kita serba kebingungan. Pada dasarnya permasalahan kita adalah konflik kelas yang banyak dimensi lain di dalamnya seperti persoalan identitas,
gender, postkolonial, kultural sampai ekonomi. Posisi gerakan mahasiswa harus dapat meredefinisi sebagai suatu entitas dan memetakan apa yang sebenarnya ingin dituju pada titik tertentu oleh mahasiswa.
Gerakan mahasiswa sebagai sayap dari gerakan politik yang jauh lebih panjang maka determinasinya adalah ideologi. Kristalisasi ideologi harus terang bukan hanya keberpihakan pada rakyat tanpa bisa memetakan apa yang ingin kita gapai,
secara struktural organisasi yang tidak terorganisir dan tidak mampu memenej dengan baik ditambah disorientasi tujuan sehingga mana yang jadi perdebatan ideologis dan mana yang jadi perdebatan teknis menjadi campur aduk dan tidak bergerak kemana-mana, regenerasi yang terus berganti seiring berjalannya waktu dan kita terjebak pada satu aktivisme belaka,
mengutip Zizek “Kita mengatakan di ujung terowongan ada cahaya tapi ternyata di ujung terowongan itu adalah kereta dari arah yang sebaliknya”. Sekali lagi yang menjadi penting adalah kita tahu apa yang ingin kita tuju di depan.
Partai sampai saat ini masih menjadi alternatif untuk menjembatani antara teori dan praktik antar sektoral, untuk menjembatani program yang ingin dicapai bersama harus terorganisir dalam satu tindakan politik yang memiliki arah dan posisi itu harus dipegang oleh partai.
Tapi jika ditanya partai seperti apa tentu eksperimennya macam-macam dan masih tetap dilakukan hingga hari ini. Karena jika hanya melalui ekstra-parlementer yang konvensional kita juga perlu mengkaji dalam situasi dan kondisi seperti apa pemerintah mau mendengarkan kebenaran yang diteriakkan dari luar atau ketika tidak mau mendengarkan suara dari luar?
Dalam situasi krisis kah? Aksi yang chaos dengan eskalasi massa yang membludak di berbagai daerah kah? Atau harus ada satu gerakan yang terorganisir dan terlibat langsung masuk ke dalam lapangan pertarungan? Dari arena yang akan membuat kebijakan publik.
Sebab kita juga memiliki banyak pengalaman mobilisasi masif yang terkulminasi pada tahun 2020 lalu dengan adanya mobilisasi anti-omnibus law. Soalnya adalah, hingga kini kita belum mampu menangguk keuntungan dari mobilisasi perlawanan ini.
Bahkan rezim elite yang berkuasa kini masih dengan seenaknya mempromosikan serangkaian kebijakan anti-rakyat. Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa mobilisasi, sebesar apapun, tidak lagi mencukupi. Perlu ada perlawanan yang lebih terorganisir, yang mengusung agenda rakyat untuk tidak sekadar melawan tapi juga menawarkan alternatif kebijakan, sebagaimana yang terjadi di Chile. Jika di Chile bisa dilakukan, mengapa di Indonesia tidak?
Yang terjadi di Indonesia justru gerakan mahasiswa hanya dikonstruksi sebatas gerakan moral yang sifatnya hanya korektif terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan, hanya sebatas pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak bisa memainkan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik,