Keberhasilan gerakan pemuda pelajar mahasiswa di Chile adalah berhasilnya gerakan tersebut merumuskan satu hal bahwa ada agenda progresif jangka panjang yang harus dikerjakan.
Apa yang menjadi target strategis jangka panjang dan target taktis jangka pendek yang mungkin dicapai. Bukan mereduksi gerakan hanya sebatas action, mobilisasi atau menggunakan yel-yel “alerta-alerta” untuk memanggil pada momen-momen tertentu saja yang hanya tak jarang berakhir chaos dan mengaburkan substansi isu yang menjadi tuntutan.
Contoh reduksionis yang lumayan fatal seperti aksi pada tanggal 11 April 2022 terkhusus isu soal menolak kenaikan BBM jenis pertamax, menolak kenaikan Ppn 11% namun di sisi lain menuntut redistribusi kekayaan a la walfare-state yang dengan sendirinya kontradiksi yang jika ditempatkan pada konsep strategi-taktik jangka panjang dan jangka pendek maka hasilnya carut marut.
Yang harus kita kritisi hari ini semisal ada public policy atau undang-undang yang sah hari ini apakah kemudian itu disebabkan karena gerakan kita atau ada faktor lain yang mendorongnya? Supaya tindakan politik kita juga tidak mengklaim anasir lain.
Semisal RUU TPPKS (tindak pidana penghapusan kekerasan seksual) yang belakangan marak disuarakan oleh beberapa NGO dan gerakan feminis, seberapa besar variabel gerakan yang kemudian bisa mendorong dan menggoalkan tuntutan itu sampai disahkan sebagai Undang-undang?
Atau justru secara moral wakil-wakil rakyat di Parlemen mengamini bahwa kesetaraan gender sudah menjadi common sense secara Internasional sehingga mengharuskan para “borjuis” juga mengadopsi nilai-nilai itu.
Maka dari itu teori menjadi penting bahwa ini tidak sebatas menuntut perubahan tapi sudah benarkah interpretasi kita tentang kondisi sosial yang ingin diubah dan bagaimana posisi kita ketika mengubah kondisi sosial? Jangan-jangan dunia atau kondisi sosial itu berubah tanpa perlu kita mengubahnya.
Untuk menjawab kebuntuan gerakan mahasiswa, kini gerakan mahasiswa harus menjadi satu gerakan politik dikarenakan gerakan moral akan kehabisan nafas. Mahasiswa akan silih berganti dalam gerakan, para senior akan menjadi borjuis baru kemudian kawan atau generasi setelahnya melabelinya sebagai penghianat, penjilat dan bejibun label buruk lainnya.
Padahal kita tidak pernah merumuskan bagaimana struktural, sistem dan proyeksi yang diciptakan dalam gerakan sehingga memfilter kader-kader yang punya potensi yang bisa dimaksimalkan untuk berguna bagi gerakan secara keumuman.
Itu lebih penting untuk dipikirkan bersama, karena kalau hanya menyalahkan maka kita sudah lakukan itu sejak tahun 1998 bahkan 1966 yang tidak membuat kita kemana-mana dengan struktural gerakan yang masih seperti ini.