"Ya Allah, please, jangan sekarang," keluh Arman saat layar laptopnya menampilkan kegelapan. "Ustadz butuh melihatku saat aku menghafal! Kenapa harus ada masalah di saat-saat seperti ini?"
Saat bersiap menyetorkan hafalannya, semua rencananya terasa melayang. Arman meraba-raba keyboard dengan harapan menemukan solusi. Dia menekan beberapa tombol, tetapi layar tetap gelap. Detak jantungnya semakin keras, mengingat betapa pentingnya hafalan ini.
"Aku tahu ini penting bukan hanya untuk nilainya, tetapi juga untuk menunjukkan kemajuan belajar saya. Ustadz selalu bilang hafalan adalah kunci untuk memahami agama dengan lebih baik," pikir Arman sambil merasa semakin tertekan.
"Maaf, ustadz, laptop saya tidak bisa buka kamera," keluh Arman, mencoba menyembunyikan kecemasannya saat bergabung dalam panggilan Zoom.
"Coba periksa kembali, Arman. Pastikan semua perangkat terhubung dengan baik," jawab ustadznya dengan nada sabar, tetapi Arman bisa mendengar sedikit nada kecewa di suaranya.
Setelah berulang kali memperbaiki posisi laptop dan memeriksa pengaturannya, Arman merasa putus asa. Dia menoleh ke arah ayahnya yang duduk di sofa, memegang ponsel dan tampak sibuk. "Ayah, laptopku tidak berfungsi! Ustadz butuh melihat aku saat menghafal!"
Tanpa sepatah kata pun, ayahnya berdiri dan mengikuti Arman ke kamarnya. Dengan langkah cepat, Arman menunjukkan laptopnya yang masih menampilkan layar hitam. "Ayah, coba lihat ini. Aku harus menyetorkan hafalan."
Sementara itu, ustadznya yang menunggu di panggilan Zoom merasa khawatir karena Arman sudah beberapa lama tidak menjawab. "Arman, apakah laptopmu sudah berfungsi?" tanya ustadz dengan nada sabar, meskipun suara ketidakpastian terbesit di suaranya.
"Tidak, ustadz. Layar laptop saya tetap hitam," jawab Arman, merasa putus asa.
"Baiklah," ujar ustadznya setelah menunggu dengan sabar, "kalau begitu, kita harus mencari solusi lain. Mungkin ayahmu bisa mendengarkan hafalanmu. Aku akan mendengarkan dari sini dan memberi umpan balik."
Arman merasa lega mendengar saran itu. Dia mengangguk dengan penuh semangat, "Baik, ustadz!" Namun, di dalam hati, dia merasa cemas. Hafalannya masih belum lancar, dan dia tahu ustadznya pasti mengharapkan yang terbaik darinya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum mulai menyetorkan hafalan di depan ayahnya.
Setelah siap, Arman mulai menyetorkan hafalannya di hadapan ayahnya. Suaranya bergetar saat dia membaca ayat demi ayat, tetapi dia merasa kesulitan dan sering kehilangan jejak. Ustadznya mendengarkan dengan seksama, dan setelah beberapa saat, dia mengangguk perlahan.
"Arman," kata ustadz dengan nada lembut tetapi tegas, "aku menghargai usaha yang telah kau lakukan. Namun, hafalanmu masih belum lancar. Penting untuk mengulanginya dengan lebih fokus."
Arman menunduk, merasa malu. "Maaf, ustadz. Saya sudah berusaha, tetapi kadang sulit untuk mengingat semuanya."
"Tidak apa-apa, Arman. Proses belajar memang tidak selalu mudah. Cobalah untuk membagi hafalan menjadi bagian-bagian kecil dan ulangi setiap bagian hingga kau merasa nyaman. Ingat, hafalan adalah kunci untuk memahami pelajaran dengan lebih baik," nasihat ustadznya.
Mendengar kata-kata itu, Arman merasa sedikit lebih baik. "Terima kasih, ustadz. Saya akan berusaha lebih keras," balasnya dengan penuh tekad.
Setelah sesi tahfidz online berakhir, Arman mematikan kamera laptopnya dan meletakkan kepala di atas meja. Hatinya terasa berat, dan rasa frustrasi mulai menguasainya. Di sudut ruangan, ayahnya yang sejak tadi duduk menemani sambil memperhatikan, berdiri dengan senyum lembut.
"Arman, Ayah akan ke ruang kerja sebentar, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil saja," ucap ayahnya sambil menepuk punggung Arman pelan sebelum beranjak keluar kamar.
Arman hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Setelah pintu tertutup, keheningan mengisi ruangan. Ia mengambil ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, dan mulai mengetik pesan kepada temannya yang bernama Kean.
Arman: "Bro, gue udah mentok banget. Gue udah coba keras buat ngafalin, tapi tetep aja buyar pas diuji."
Kean membaca pesan itu dan menunda balasan sejenak. Akhirnya, ia mengetik dengan gaya cueknya.
Kean: "Lo biasanya ngapain aja pas nyiapin hafalan?"
Arman cepat membalas, "Jujur aja, gue sering buka Instagram terus liat postingan yang tulisannya 'yang like video ini ku doain hafalan lancar' atau 'yang like video ini ku doain sukses'. Emang salah?" tanyanya dengan polos.
Kean menahan tawa dan mengetik lagi, sedikit lebih lama kali ini. "Yah, salah sih enggak, tapi gak bakal bantu juga. Coba lo bagi jadi bagian kecil, terus ulang terus sampe lo bosen. Kalo udah bosen, berarti itu mulai nempel."
Arman terkekeh melihat balasan itu. Meski saran Kean terkesan datar, ada kepedulian di balik kata-katanya.
Arman: "Noted, bro. Gue bakal coba. Makasih!"
Kean: "Yoi. Tapi inget, jangan kebanyakan skrol IG lagi."
Setelah Kean selesai menceritakan percakapannya dengan Arman, suasana di kelas hening sejenak, hanya terdengar napas tertahan para murid yang terpesona oleh cerita sang ustadz.
Tiba-tiba, seorang murid di barisan tengah berseru dengan nada polos, "Ustadz, aku juga suka nge-like postingan di Instagram yang bilang 'yang like video ini ku doain hafalan lancar!'"
Kelas pun meledak dengan tawa riang, beberapa murid lainnya ikut tertawa sambil mengangguk setuju. Kean tersenyum, menggelengkan kepala pelan sambil menahan tawa.
Kean menunggu tawa di kelas mereda sebelum kembali berbicara. Senyumnya mengembang, mencerminkan rasa bangga yang tak terbantahkan.
"Ya, dulu Arman juga begitu," lanjutnya, suaranya tenang namun penuh makna. "Tapi setelah percakapan itu, ia mulai mengubah caranya belajar. Ia berusaha keras, sedikit demi sedikit, menghafal dengan lebih fokus dan konsisten. Ada hari-hari di mana ia nyaris menyerah, tapi dia terus maju. Setiap hafalan kecil yang berhasil diingatnya memberinya semangat untuk menghafal lebih banyak."
Murid-murid mendengarkan dengan takzim, terpaku oleh kisah perjalanan Arman yang tampaknya tidak mudah.
"Hingga akhirnya, Arman berhasil menyelesaikan hafalannya dengan sempurna. Dan sekarang, ia mengajar tahfidz di Jepang, menjadi seorang guru yang terkenal dan dihormati. Ia mengajarkan ilmu dan semangat yang sama yang pernah ia pelajari saat berjuang mengatasi tantangan yang kelihatannya sepele tapi bisa menghalangi langkah."
Ruangan itu kembali sunyi, kali ini penuh kekaguman. Seorang murid berbisik kagum, "Dari suka nge-like di Instagram sampai jadi guru di luar negeri..."
Kean mengangguk dengan senyum bijak. "Jadi, ingatlah, semua dimulai dari langkah-langkah kecil. Jangan pernah meremehkan usaha kalian, sekecil apa pun itu. Setiap perjalanan besar dimulai dari satu langkah kecil."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI