Setelah siap, Arman mulai menyetorkan hafalannya di hadapan ayahnya. Suaranya bergetar saat dia membaca ayat demi ayat, tetapi dia merasa kesulitan dan sering kehilangan jejak. Ustadznya mendengarkan dengan seksama, dan setelah beberapa saat, dia mengangguk perlahan.
"Arman," kata ustadz dengan nada lembut tetapi tegas, "aku menghargai usaha yang telah kau lakukan. Namun, hafalanmu masih belum lancar. Penting untuk mengulanginya dengan lebih fokus."
Arman menunduk, merasa malu. "Maaf, ustadz. Saya sudah berusaha, tetapi kadang sulit untuk mengingat semuanya."
"Tidak apa-apa, Arman. Proses belajar memang tidak selalu mudah. Cobalah untuk membagi hafalan menjadi bagian-bagian kecil dan ulangi setiap bagian hingga kau merasa nyaman. Ingat, hafalan adalah kunci untuk memahami pelajaran dengan lebih baik," nasihat ustadznya.
Mendengar kata-kata itu, Arman merasa sedikit lebih baik. "Terima kasih, ustadz. Saya akan berusaha lebih keras," balasnya dengan penuh tekad.
Setelah sesi tahfidz online berakhir, Arman mematikan kamera laptopnya dan meletakkan kepala di atas meja. Hatinya terasa berat, dan rasa frustrasi mulai menguasainya. Di sudut ruangan, ayahnya yang sejak tadi duduk menemani sambil memperhatikan, berdiri dengan senyum lembut.
"Arman, Ayah akan ke ruang kerja sebentar, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil saja," ucap ayahnya sambil menepuk punggung Arman pelan sebelum beranjak keluar kamar.
Arman hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Setelah pintu tertutup, keheningan mengisi ruangan. Ia mengambil ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, dan mulai mengetik pesan kepada temannya yang bernama Kean.
Arman: "Bro, gue udah mentok banget. Gue udah coba keras buat ngafalin, tapi tetep aja buyar pas diuji."
Kean membaca pesan itu dan menunda balasan sejenak. Akhirnya, ia mengetik dengan gaya cueknya.
Kean: "Lo biasanya ngapain aja pas nyiapin hafalan?"